KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

Selasa, 23 Agustus 2011
KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS
Kerangka Berpikir

Perencanaan pengelolaan hutan lestari dan pemberdayaan masyarakat di sekitar kawasan hutan, pemerintah selalu dilakukan secara sentralistik tanpa melibatkan peran serta masyarakat. Sebagian elit birokrasi beranggapan bahwa untuk mencapai efisiensi dalam pembangunan, masyarakat tidak mempunyai kemampuan untuk menganalisis kondisi dan merumuskan permasalahan, apalagi mencari solusi pemecahannya, sehingga masyarakat kurang terlibat dalam setiap tahapan proses pemberdayaan. Akibatnya masyarakat kurang memahami dan mengerti untuk apa dan bagaimana program tersebut dilakukan. Kondisi ini yang mendorong masyarakat bersikap tidak peduli dan tidak bertanggung jawab terhadap keberhasilan dan kegagalan program tersebut. Beberapa contoh program pemberdayaan yang digulirkan pemerintah yang belum menunjukkan manfaat yang signifikan secara berkelanjutan bagi masyarakat dan bahkan hanya menciptakan ketergantungan masyarakat terhadap pemerintah adalah pembagian Raskin, Gaskin, dana bergulir, BLT dan sebagainya.
Paradigma baru pemberdayaan yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama pembangunan diharapkan lebih dapat bersifat memberdayakan masyarakat. Mengingat salah satu tujuan pembangunan adalah terciptanya masyarakat yang memiliki daya, kekuatan atau kemampuan berpartisipasi aktif dalam pembangunan serta memiliki kebebasan di segala bidang kehidupan. Keberhasilan implementasi paradigma baru pemberdayaan masyarakat disadari bukanlah hal yang mudah, tetapi memerlukan upaya dan kerja keras dari berbagai pihak, baik pemerintah, swasta, pelaku pemberdayaan maupun masyarakat. Salah satu yang harus diperhatikan dalam proses pemberdayaan masyarakat adalah keterlibatan masyarakat sasaran dan pemanfaatan potensi dan sumberdaya lokal secara optimal agar masyarakat dapat menolong dirinya sendiri (mandiri).
Sumberdaya yang dimiliki masyarakat dalam istilah ekonomi disebut modal atau aset yang dalam penelitian ini dikelompokkan menjadi tiga kelompok modal yaitu, modal fisik, modal manusia dan modal sosial yang perlu

diidentifikasi secara cermat oleh pelaku pemberdayaan bersama masyarakat, dikembangkan serta dimanfaatkan dalam rangka memberdayakan masyarakat.
Pemberdayaan sebagai proses menunjuk pada serangkaian tindakan yang dilakukan secara sistematis yang mencerminkan pentahapan upaya mengubah masyarakat yang kurang berdaya menuju keberdayaan. Berdasarkan uraian yang dikemukakan oleh Ife (1995), Sumitro (Vitayala, 1995), Sumardjo (1999), dan Slamet (2000) tentang ciri-ciri masyarakat berdaya maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat dapat dikatakan berdaya jika memiliki pengetahuan, sikap dan ketrampilan yang memadai seperti yang disajikan dalam Tabel 2.
Tabel 2 Ciri-ciri masyarakat berdaya dilihat dari aspek pengetahuan, sikap dan ketrampilan.
Aspek perilaku Masyarakat Berdaya Masyarakat Kurang Berdaya
Penge- (1) Memiliki pengetahuan yang luas (1) Pengetahuan yang terbatas tahuan (2) Memiliki wawasan jauh ke depan (2) Berwawasan sempit (kognitif) (3) Dapat mengenal potensi dan (3) Kurang mengenal potensi dan kebutuhan dirinya dengan baik kebutuhan dirinya
(4) Memahami unsur-unsur (4) Kurang memahami unsur-unsur manajemen dan kepemimpinan manajemen dan kepemimpinan 

Sikap (1) Percaya diri (1) Memiliki rasa minder
(Afektif) (2) Pantang menyerah (2) Mudah menyerah (fatalis)
(3) Selektif (3) Menerima apa adanya
(4) Komunikatif (4) Kurang komunikatif
(5) Jujur dan bertanggungjawab dalam (5) Kurang bertanggungjawab atas tutur
bertutur dan bertindaknya dan tindakanya
(6) Terbuka, bekerjasama dan peduli (6) Tertutup, dan susah diajak terhadap sesamanya kerjasama serta kurang peduli terhadap sesamanya.
Ketram- (1) Dapat mengidentifikasi kebutuhan (1) Tidak dapat mengidentifikasi pilan(Psiko dan potensi yang dimiliki secara kebutuhan dan potensi local secara motorik) tepat tepat
(2) Mampu menerapkan unsur-unsur (2) Tidak mampu menerapkan unsur
manajemen dan kepemimpinan unsur manajemen dan kepemim
dalam kehidupannya secara baik pinan dalam kehidupannya secara
(3) Berkemampuan mencari dan baik
memanfaatkan informasi dan (3) Tidak dapat memanfaatkan
peluang baru. informasi dan peluang yang ada
(4) Berkemampuan memenuhi (4) Kurang kreatif dalam pemenuhan
kebutuhannya kebutuhannya

Pemberdayaan masyarakat adalah suatu perwujudan capacity building masyarakat yang bernuansa pada pemberdayaan sumberdaya manusia melalui pengembangan kelembagaan pembangunan mulai dari tingkat pusat sampai tingkat perdesaan seiring dengan pelaksanaan Pendampingan, Penyuluhan dan Pelayanan (Tiga-P). Pendampingan dapat menggerakkan partisipasi lokal masyarakat, Penyuluhan dapat mere spon dan memantau perubahan-perubahan yang terjadi di masyarakat dan Pelayanan sebagai unsur pengendali ketepatan distribusi aset sumberdaya fisik dan non fisik yang diperlukan masyarakat (Vitayala et al, 2000)
Pelaksanaan pendampingan, penyuluhan dan pelayanan masyarakat dalam upaya memberdayakan memerlukan pelaku yang memiliki kemampuan yang memadai. Paradigma baru pemberdayaan menuntut adanya pelaku pember¬dayaan yang memiliki kemampuan dalam menjalankan tugas-tugasnya di lapangan dengan baik. Mereka tidak hanya dituntut untuk memperkaya dan memperluas pengetahuannya, tidak cukup mengandalkan kecerdikan dan ketrampilannya dalam mendesain program pemberdayaan, melainkan dituntut pula untuk memiliki komitmen yang tinggi terhadap kepentingan masyarakat.
Kemampuan pelaku pemberdayaan (stakeholders) yang utama adalah kemampuan menggali, menumbuhkan, mengembangkan dan memanfaatkan potensi sumberdaya lokal. Menumbuhkembangkan potensi sumberdaya lokal mempunyai arti yang sangat penting terutama agar masyarakat tidak tergantung pada pihak luar. Pelaku pemberdayaan harus yakin bahwa jika sumber daya dan potensi lokal bisa terangkat, maka proses pemberdayaan yang berujung pada pemandirian akan mudah dicapai. Artinya, bahwa potensi lokal akan menjadi perangsang menuju masyarakat yang berkembang, berdaya dan mandiri.
Merujuk pada beberapa uraian yang dikemukakan oleh Compton dan Galaway (1989), Parsons, Jorgensen dan Hernandez (1994), Tjokrowinoto (2001), dan Jamasy (2004), maka dapat disimpulkan bahwa para pelaku pemberdayaan yang dapat memberdayakan masyarakat sebaiknya memiliki kemampuan yang memadai yang tercermin pada tiga aspek perilaku yaitu: aspek pengetahuan, sikap dan ketrampilan, seperti yang disajikan dalam Tabel 3.

Tabel 3 Ciri-ciri pelaku pemberdayaan yang memberdayakan dilihat dari aspek perilaku; pengetahuan, sikap dan ketrampilan.
No. Aspek perilaku Pelaku pemberdayaan yang
memberdayakan Pelaku pemberdayaan kurang
memberdayakan
1 Pengetahuan (kognitif) (1) Berpengetahuan luas dan berwawasan jauh ke depan
(2) Berkemampuan mengenal kebutuhan & potensi yang dimiliki masyarakat
(3) Memiliki pengetahuan dan pemahaman tentang perencanaan partisipatif
(4) Memiliki pemahaman tentang penyuluhan, pendampingan, pelayanan dan komunikasi. (1) Berpengetahuan terbatas dan berwawasan sempit
(2) Kurang mengenal kebutuhan & potensi yang dimiliki masyarakat
(3) Pengetahuan dan pemahaman tentang perencanaan
partisipatif
yang terbatas
(4) Kurang memahami prinsip penyuluhan, pendampingan, pelayanan dan komunikasi
2. Sikap (Afektif) (1) Empati
(2) Cepat tanggap (responsif)
(3) Fleksibel
(4) Komunikatif
(5) Demokratis
(6) Memiliki komitmen yang tinggi terhadap kepentingan masyarakat
(7) Bertanggungjawab (1) Kurang memiliki rasa empati
(2) Kurang responsif
(3) Kaku dalam bertindak
(4) Kurang komunikatif
(5) Kurang demokratis
(6) Komitmen rendah terhadap kepentingan masyarakat
(7) Bertanggungjawab
3. Ketrampilan (Psikomo-torik) (1) Dapat mengidentifikasi kebutuhan dan potensi yang dimiliki masyarakat secara baik dan tepat
(2) Trampil memotivasi dan memfasilitasii masyarakat
(3) Trampil memanfaatkan teknologi modern dalam mencari informasi peluang baru secara baik.
(4) Trampil memasarkan dan mengembangkan inovasi (1) Kurang tepat dalam mengiden-tifikasi kebutuhan dan potensi masyarakat.
(2) Kurang trampil memotivasi dan memfasilitasi, masyarakat
(3) Kurang trampil memanfaatkan teknologi modern dalam mencari informasi dan peluang baru
(4) Kurang inovatif

Pelaku pemberdayaan dalam menjalankan fungsinya, terutama dalam melakukan proses pemberdayaan yang dapat mewujudkan masyarakat berdaya juga tidak terlepas dari dukungan masyarakat yang memiliki sumberdaya manusia yang memadai dan modal sosial yang kuat. Pada era globalisasi seperti sekarang ini perhatian terhadap modal manusia semakin tinggi berkaitan dengan perkem¬bangan dalam ilmu ekonomi pembangunan dan sosiologi. Para ahli kedua bidang

tersebut umumnya sepakat pada satu hal, yakni modal manusia berperan secara signifikan, bahkan lebih penting daripada faktor teknologi, dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Modal manusia tersebut tidak hanya menyangkut kuantitas tetapi juga kualitas. Lalu muncul pertanyaan, apa ukuran yang menentukan kualitas manusia?. Ada berbagai aspek yang dapat menjelaskan hal ini, seperti aspek kesehatan, pendidikan, kebebasan berbicara dan lain sebagainya. Di antara berbagai aspek tersebut, pendidikan dianggap memiliki peranan penting dalam menentukan kualitas manusia. Lewat pendidikan, manusia dianggap akan mem¬peroleh pengetahuan, dan dengan pengetahuannya manusia diharapkan dapat membangun keberadaan hidupnya dengan lebih baik (Tobing, 2005). Pendidikan adalah cara dimana individu meningkatkan modal manusianya. Semakin tinggi pendidikan seseorang, diharapkan stok modal manusianya semakin tinggi pula
Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek konsumtif juga diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital investment) dan menjadi "leading sector" atau salah satu sektor utama. Seperti yang dikemukakan oleh Todaro, M.P. dan Smith, S.C (2003) bahwa pendidikan dan kesehatan merupakan tujuan pembangunan yang mendasar yang keduanya merupakan bentuk dari modal manusia yang menjadi fundamental untuk membentuk kapabilitas manusia yang lebih luas yang berada pada inti makna pembangunan. Kesehatan merupakan inti dari kesejahteraan dan pendidikan adalah hal yang pokok untuk menggapai kehidupan yang memuaskan dan berharga.
Menurut Fukuyama (2002) bahwa dewasa ini modal untuk usaha tidak lagi melulu berwujud tanah, pabrik, alat-alat dan mesin. Bentuk modal-modal tersebut bahkan cenderung semakin berkurang dan akan segera didominasi oleh modal manusia seperti; pengetahuan dan ketrampilan. Coleman (1998) menam¬bahkan bahwa selain pengetahuan dan ketrampilan, porsi lain dari modal manusia adalah kemampuan masyarakat untuk melakukan asosiasi (berhubungan) satu sama lain.
Berdasarkan pendapat Coleman (1998), Fukuyama (2002) dan Todaro, dan Smith (2003) maka dapat disimpulkan bahwa tinggi rendahnya tingkat modal manusia masyarakat dapat diukur melalui; (1) tingkat pendidikan, (2) tingkat

kesehatan, dan (3) tingkat kemampuan berinteraksi antar sesama. Oleh karena itu, setiap individu dikatakan memiliki modal manusia yang tinggi jika memiliki tingkat pendidikan, kesehatan dan hubungan yang harmonis antar sesama warga masyarakat yang memadai dalam melakukan suatu aktivitas yang secara rinci disajikan dalam Tabel 4.
Tabel 4 Ciri masyarakat yang memiliki modal manusia (human capital)
Aspek
Penilaian Masyarakat yang Memiliki Human Capital yang tinggi Masyarakat yang Memiliki Human Capital yang rendah
Pendidikan (1) Tingkat pendidikan relatif tinggi
(2) Pengetahuan yang luas (3) Wawasan jauh ke depan (1) Tingkat pendidikan relatif rendah
(2) Pengetahuan yang kurang memadai
(3) Wawasan sempit
Kesehatan (1) Memiliki fisik yang kuat
(2) Selalui berpikir rasional
(3) Religius
(4) Akses terhadap pelayanan kesehatan tinggi (1) Fisik yang lemah
(2) Berpikir tidak irasional
(3) Kurang religius
(4) Akses terhadap pelayanan kesehatan rendah
Kemampuan berinteraksi antar sesama (1) Terbuka
(2) Menjalin persahabatan (3) Membangun kerjasama (1) Kurang menerima pendapat orang lain
(2) Kurang bersahabat
(3) Tidak dapat bekerjasama

Para ilmuwan sosial sadar bahwa keberhasilan ekonomi tidak hanya ditentukan oleh modal ekonomi yang berbentuk material semata, tetapi juga ada modal dalam bentuk immaterial. Modal immaterial ini oleh banyak ilmuwan disebut sebagai modal sosial. Modal sosial bisa melekat pada individu manusia dan juga bisa merupakan hasil interkasi sosial dalam bentuk jaringan sosial ( Alder & Seok, 2002). Oleh karena itu, mengenai pengertian atau definisi modal sosial sangat beragam tetapi tidak lepas dari dua obyek penekanan, pertama penekanan pada karakteristik yang melekat pada individu (norma-norma, saling percaya, saling pengertian , kepedulian, dll) dan kedua penekanan pada jaringan hubungan sosial (adanya kerjasama, pertukaran informasi, dll )
Berdasarkan pendapat Putnam (1995), Coleman (1998), dan Fukuyama (2002), maka indiktor untuk mengukur tinggi rendahnya modal sosial masyarakat antaral lain dapat dilihat dari; (1) jaringan sosial/kerja, (2) kepercayaan (saling

percaya), (3) ketaatan terhadap norma, (4) kepedulian terhadap sesama, dan (5) keterlibatan dalam organisasi sosial seperti yang terlihat dalam Tabel 5.
Tabel 5 Tingkatan modal sosial masyarakat
Jenis Modal Sosial Unsur penilian Masyarakat yang
memiliki modal
sosial
minimum/rendah Masyarakat yang
memiliki modal
sosial dasar/sedang Masyarakat yang
memiliki modal sosial
Maksimum/tinggi
(1) (2) (3) (4) (5)
Tujuan Untuk memenuhi kepentingan sendiri tanpa peduli kepentingan orang lain Untuk memenuhi kepentingan sendiri dengan memperhatikan kepentingan orang lain Untuk membantu orang lain tanpa
mengorbankan kepentingan sendiri.
Sasaran Terbatas pada lingkungan keluarga (rumah tangga) Keluarga dan tetangga serta teman dekat yang ada lingkungan tempat tinggal Komunitas umum yang tidak dibatasi oleh ikatan keluarga, pertemanan, wilayah administrasi dan sebagainya
Sumber Motivasi Entrinsik (faktor dari luar : ikut-ikutan) Entrinsik (Faktor dari luar : keluargan dan teman dekat) Intrinsik (Faktor dari dalam : telah tertanam dalam diri )
Penyelesaian Konflik Kurang peduli Keluar dari jaringan jika konflik memba- hayakan dirinya Aktif mencari penyebab dan solusi pemecahan terjadinya konflik
Pengam- bangan jaringan Kurang peduli Dilakukan jika menguntungkan organisasi kemasyarakatan Aktif dalam usaha perbaikan dan pengembangan lebih lanjut Antar sesama Kurang percayaan terhadap warga masyarakt yang tidak ada ikatan famili Hanya percaya terhadap famili, krabat/teman dekat dan tetangga Percaya terhadap siapa saja yang memiliki etika dan perilaku yang baik dalam masyarakat Nila/norma masyarakat Hanya percaya kepada nilai/norma yang diwariskan keluarganya Percaya terhadap nila/normal yang disepakati oleh komunitasnya Percaya terhadap nilai /norma yang mengakomodir kepentingan orang banyak

Tabel 5 lanjutan
(1) (2) (3) (4) (5)
Tokoh masyarakt Kurang percaya terhadap tokoh masyarakat Percaya terhadap tokoh masyarakat yang ada hubungan keluarga dan organisasi kemasyarakatannya Percaya terhadap tokoh masyarakat yang memperjuangkan kepentingan orang banyak.
Pihak Luar/LSM Kurang percaya terhadap orang luar/LSM Percaya kepada orang luar/LSM yang sudah dikenal. Percaya terhadap orang luar/LSM yang bertujuan untuk membantu masyarakat banyak.
Pemerintah Kurang percaya terhadap pemerintah karena sering menipu masyarakat. Percaya terhadap pemerintah yang ada hubungan keluarga atau persahabatan. Percaya terhadap pemerintah yang selalu memperjuangkan kepentingan masyarakat tanpa memandang keluarga, organisasi kemasyarakatan, suku, etnis dan agama.
Agama Sering tidak mentaati ajaran agama yang dianut Hanya mentaati ajaran yang diwajibkan saja Mentaati semua ajaran agama baik wajib maupun yang disunatkan Nilai/norma masyarakat Hanya taat terhadap nilai/norma yang menguntungkan diri sendiri. Taat terhadap nila/normal yang disepakati oleh komunitasnya dan tidak merugikan diri sendiri Taat terhadap nilai/norma yang berlaku secara umum dan mengakomodir kepentingan orang banyak
Tokoh masyarakt Hanya taat terhadap tokoh masyarakat yang ada hubungan keluarga Taat terhadap tokoh masyarakat yang memperjuangkan kepentingan keluarga dan kelompoknya Taat terhadap tokoh masyarakat yang memperjuangkan kepentingan orang banyak.
Pihak Luar/LSM Kurang taat terhadap orang luar/LSM Taat kepada orang luar/LSM yang sudah dikenal dan memperjuangkan kepentingan keluarga dan kelompoknya Taat terhadap orang luar/LSM yang sudah yang bertujuan untuk membantu masyarakat banyak.

Tabel 5 lanjutan
(1) (2) (3) (4) (5)
Pemerintah Kurang taat terhadap peraturan pemerintah. Taat terhadap peraturan pemerintah yang ada hubungan dengan kepetingan diri sendiri dan kelompoknya Taat terhadap peraturan pemerintah yang mengakomodir kepentingan masyarakat umum tanpa memandang keluarga, kelompok, suku, etnis dan agama.

Agar kepentingan pribadi terpelihara
Terbatas pada lingkungan keluarga (rumah tangga)
Entrinsik (faktor dari luar : ikut-ikutan)
Kurang memiliki tujuan yang jelas (ikut-ikutan)
Jarang terlibat
Tidak lebih dari satu organisasi

Agar tetap terjalin hubungan yang harmonis antara sesama
Keluarga dan tetangga serta sahabat/teman
dekat yang ada lingkungan tempat tinggal
Entrinsik (Faktor dari luar : keluargan dan teman dekat)
Untuk menambah pengetahuan dan pengalaman pribadi
Kadang-kadang terlibat
Dua sampai tiga organisasi

Untuk membangun hubungan yang harmonis dan membantu orang lain yang membutuhkan pertolongan
Komunitas umum yang tidak dibatasi oleh ikatan keluarga, pertemanan, wilayah administrasi dan sebagainya
Intrinsik (Faktor dari dalam : telah tertanam dalam diri )
Untuk menambah dan berbagi pengetahuan dan pengalaman antar sesama anggota
Sering terlibat
Lebih dari tiga organisasi

Hubungan antara Peubah
Sasaran utama pemberdayaan masyarakat adalah masyarakat miskin, lemah, terpinggirkan dan yang terabaikan. Pemberdayaan masyarakat adalah meningkatkan kemampuan masyarakat untuk menganalisa kondisi dan potensi serta masalah-masalah yang perlu diatasi. Keberhasilan proses pemberdayaan

sangat tergantung dari dukungan faktor-faktor physical capital, human capital, social capital, dan kemampuan pelaku pemberdayaan.
Usaha pemerintah untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran akhir-akhir ini sangat gencar melalui berbagai macam program pemberdayaan seperti, KUT, P2KP, RASKIN, GASKIN, BLT dan sebagainya. Keberhasilan program-program tersebut sampai saat ini belum nampak secara signifikan dalam menurun¬kan jumlah angka kemiskinan. Salah satu penyebab dari kegagalan program pemberdayaan tersebut adalah ketidak sesuaian harapan, keinginan dan kebutuhan dasar masyarakat serta tidak tersedianya modal fisik yang memadai. Selain itu faktor kemampuan (human capital) masyarakat untuk menerima, melaksanakan dan mengelola program tersebut secara profesional masih kurang dan faktor kemauan menjalin hubungan yang harmonis, saling percaya, peduli terhadap sesama, membangun kerjasama dan taat terhadap kesepakatan/aturan/norma yang berlaku (modal social) belum dioptimalkan.
Untuk mensukseskan program pemberdayaan yang dapat memberdayakan masyarakat maka perlu semua pihak, terutama pemerintah harus secara serius membangun dan menyediakan sarana dan prasarana fisik yang berkaitan dengan kegiatan produksi, pendidikan, kesehatan, transportasi dan komunikasi. Sarana dan prasarana pembangunan yang memadai akan membantu dan mendorong peningkatan kemampuan intelektual yang diwujudkan dalam peran serta masya-rakat dalam pembangunan melalui kerjasama yang saling menguntungkan, membangun jaringan kerja yang positif dan taat terhadap norma yang berlaku..
Keterpaduan antara faktor tersebut akan mendorong terciptanya masyara-kat yang dapat menolong diri sendiri (berdaya). Keberdayaan masyarakat akan dapat diwujudkan melalui kemampuannya dalam berpartisipasi secara optimal dalam memanfaat potensi sumberdaya yang dimiliki melalui kegiatan perencana-an, pengorganisasian, pelaksanaan, dan evaluasi secara adil dan bertanggung jawab. Selain itu, masyarakat akan memiliki peluang dalam mengakses sumber-daya dan informasi, menumbuhkan jiwa partisipasi yang tinggi, menanamkan rasa tanggungjawab dan komitmen yang kuat.

Secara singkat hubungan antar peubah penelitian sebagai modal kerangka pikir penelitian pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan lindung divisua-lisasikan pada Gambar 2.



sesama
Social Capital (X3)
Tingkat :
• Kerjasama antar sesama
• Kepercayaan antar sesama
• Kepatuhan terhadap norma
• Kepedulian antar sesama
• Keterlibatan dlm aktivitas organisasi sosial
Proses Pemberdayaan (Y1)
Tingkat Keterlibatan Masyarakat dalam :
• Perencanaan
• Pengorganisasian
• Pelaksanaan
• Evaluasi

Kemampuan Pelaku
Pemberdayaan
(X4)
Tingkat kemampuan :
• Kognitif(berpikir)
• Psikomotorik (berbuat/bertindak)
• Afektif (bersikap)

Gambar 2 : Model Kerangka Berpikir Penelitian Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Kawasan Hutan Lindung.

Hipotesis
Berdasarkan rumusan permasalahan dan kerangka pikir penelitian, maka hipotesis penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
(1) Modal sosial (social capital) masyarakat secara nyata dipengaruhi oleh modal fisik (physical capital), dan modal manusia (human capital). Adapun model konseptual hipotesis pertama disajikan pada Gambar 3
Gambar 3 Model konseptual hipotesis pertama
(2) Proses pemberdayaan masyarakat secara nyata dipengaruhi oleh modal fisik (physical capital), modal manusia (human capital), modal sosial (social capital), dan kemampuan pelaku pemberdayaan. Adapun model konseptual hipotesis kedua disajikan pada Gambar 4.
Gambar 4 Model konseptual hipotesis kedua

(3) Tingkat keberdayaan masyarakat secara nyata dipengaruhi oleh modal fisik (physical capital), modal manusia (human capital), modal sosial (social capital), kemampuan pelaku pemberdayaan dan proses pemberdayaan. Adapun model konseptual hipotesis ketiga disajikan pada Gambar 5.
Gambar 5 Model konseptual hipotesis ketiga

METODE PENELITIAN
Populasi dan Sampel
Populasi
Populasi penelitian adalah masyarakat tani yang bermukim sekitar kawasan hutan lindung Jompi Kabupaten Muna di Sulawesi Tenggara. Secara administrasi kawasan hutan lindung Jompi berbatasan dengan lima kecamatan yaitu; Kecamatan Batalaiworu, Katobu, Duruka, Kontunaga dan Watupute. Mengingat keterbatasan waktu, biaya, maupun tenaga, maka populasi penelitian dibatasi pada masyarakat tani yang bermukim di kelurahan/desa yang bersentuhan langsung dengan kawasan hutan lindung Jompi di bagian hulu DAS Jompi yang berjumlah 981 rumah tangga.
Sampel
Menurut Sugiono (2000), bila obyek penelitian atau sumber data sangat luas, misalnya meliputi suatu negara, provinsi atau kabupaten sebaiknya pengam-bilan sampel daerah maupun responden menggunakan teknik Cluster Sampling atau Areal Sampling. Penentuan sampel yang akan dijadikan sumber data adalah berdasarkan daerah populasi yang telah ditetapkan. Kabupaten Muna merupakan daerah yang memiliki kawasan hutan lindung Jompi yang di dalamnya terdapat Daerah Aliran Sungai (DAS) Jompi yang merupakan sumber mata air bersih penduduk Kota Muna. Kawasan hutan lindung Jompi secara adminstrasi berbatasan langsung dengan lima Kecamatan, maka untuk menentukan daerah penelitian perlu membagi daerah kawasan hutan menjadi beberapa unit analisa atau satuan penelitian.
Menurut Singarimbun dan Effendi (1989), bahwa jika kerangka sampel (sampling frame) yang akan digunakan sebagai dasar pemilihan sampel tidak tersedia atau tidak lengkap, maka perlu menetapkan unit-unit analisa dalam populasi yang digolongkan ke dalam gugus-gugus yang disebut Cluster, dan inilah yang menjadi satuan-satuan dari mana sampel akan diambil. Berdasarkan

0 komentar: On KERANGKA BERPIKIR DAN HIPOTESIS

Posting Komentar

Entri Populer

tempat iklan
Grab this Widget ~ Blogger Accessories
 
bottom