SEJARAH ORANG BANYUMAS

Minggu, 01 Mei 2011
PEMBAHASAN

Mencari Kejayaan dan Keemasan

Prasasti Canggal yang diterbitkan pada tahun 732 Masehi mengatakan bahwa Pulau Jawa selain dikenal sebagai pulai jelai, juga kaya akan tambang emas (bdk.Poerbatjaraka, 1992: 54-55). Apakah Banyumas yang dikenal sekarang ini, dahulunya juga sama dengan kasus Pulau Jawa tadi. Apakah di kota Banyumas atau di jalur sungainya juga terdapat tambang emas ? Ataukah nama yang mengandung unsur emas itu hanyalah sebuah kata yang bermakna sebagai lambang belaka. Secara legendaris, nama Banyumas berarti air yang bernilai seperti emas. Namun, ada juga yang menggambarkan bahwa air sungai yang kekuningan seperti emas. Cerita cerita orang tua sering mengatakan adanya benda-benda emas di beberapa tempat di Sungai Banyumas.

1. Seperti yang sudah sering diduga bahwa nama Banyumas merupakan kata yang dalam teori Antropologi sebagai binary opposition (Koentjaraningrat, 1982: 229) dari kata Banyureka atau Toyareka. Kata yang terakhir itu dalam legenda Banyumasan memiliki makna yang negatif karena leluhur Banyumas menjadi korban fitnah orang-orang Toyareka (Priyadi, 2001a) sehingga Adipati Warga Utama II (pengganti mertuanya) memindahkan ibu kota ke tempat yang baru. Anak atau menantu adalah substitusi orang tuanya (Bertens, 1991: xxxiv). Apalagi,Jaka Kaiman atau Bagus Mangun memakai nama nunggak semi mertuanya. Hal itu menjelaskan bahwa Warga Utama I yang telah meninggal dunia itu pada hakikatnya eksistensinya tetap. Kematian Warga Utama I memang bisa diartikan sebagai peristiwa mahapralaya atau kehancuran kosmos. Agar kosmos itu bisa diwujudkan kembali (Kuntowijoyo, 1987:70), maka Warga Utama II dikukuhkan eksistensinya melalui kekuasaan Sultan Pajang.

2. Perpindahan dari Wirasaba ke Banyumas pada mulanya sebagai upaya agar konflik antarkeluarga tidak terjadi lagi. Atau dengan kata lain, leluhur Banyumas tidak senang konflik sehingga ia lebih memilih mencari ketentraman dan rasa aman di Banyumas. Perpindahan itu dilakukan dengan melayari Sungai Serayu dengan semboyan menemukan daerah baru. Tampaknya, unsur emas (gold) menjadi motivasi seperti orang¬orang Eropa ketika melakukan pelayaran dunia. Emas adalah lambang kejayaan setelah berlalunya badai yang melanda Wirasaba (Priyadi, 200 1b:52). Banyumas adalah daerah tujuan baru untuk mencapai zaman kejayaan atau zaman keemasan kembali trah Wirasaba. Hal itu bisa dijelaskan bahwa perputaran kosmos sama halnya dengan siklus caturyuga. Jatuhnya Wirasaba yang disebabkan oleh Toyareka adalah zaman kehancuran atau Kaliyuga (Kartodirdjo, 1982: 179 & 1990: 159- 160; bdk. Priyadi, 2001c: 388) dan Warga Utama II adalah pembangun kembali Wirasaba yang telah hancur itu sehingga akan muncul zaman Kertayuga. Kertayuga adalah zaman yang serba makmur dan adil. Di situ, tidak ada kejahatan sama sekali. Kehidupan rakyat tata, titi, tentrem, tur kerta raharja. Prinsip kehidupan zaman Kertayuga inilah yang dituju oleh pendiri Banyumas. Dengan demikian, Toyareka adalah simbol zaman kehancuran, sedangkan Banyumas merupakan simbol zaman kejayaan atau zaman keemasan (Kartodirdjo, 1982: 201). Di sini, kiranya juga ada prinsip hijrah yang diyakini oleh manusia Banyumas sebagai pembuka pintu kejayaan yang akan ditemukan di tempat lain.

Orang Banyumas Suka Memberontak
Sejarah Banyumas mengindikasikan bahwa dari Banyumas selalu lahir para pemberontak. Jadi, orang Banyumas pada hakikatnya suka memberontak atau dengan kata lain memiliki kekritisan kepada pihak penguasa. Banyak Thole dalam Babad Pasir yang oleh H.J. de Graaf (1985) dianggap sebagai suatu perlawanan terhadap raja Demak, bahkan Adipati Wirasaba Warga Utama I yang menyerahkan putrinya (mantan menantu Demang Toyareka) juga diduga sebagai perilaku jongkeng kawibawan raja Pajang. Perintah pengepungan ibu kota Pasirluhur dan hukuman mati kepada Warga Utama I ditafsirkan oleh sejarawan sebagai usaha pemadaman terhadap para pemberontak.

Keberanian orang-orang Toyareka memfitnah dan melaporkan Warga Utama I kepada raja Pajang bisa dinilai juga sebagai pemberontak, baik kepada raja maupun adipati Wirasaba. Penyerahan bulu bekti dan putri merupakan simbol kepatuhan dan takluk kepada raja. Jangankan mantan menantu, anak, atau istri pun harus diserahkan manakala raja memang menghendakinya. Di sini, Demang Toyareka berani melawan raja. Di sisi lain, Demang Toyareka juga berani mengoposisi pantangan Adipati Warga Utama I. Jika sang adipati melarang keturunannya kawin dengan keturunan Demang Toyareka, maka sang demang juga melakukan hal serupa bagi keturunannya.

3. Babad Tanah Jawi mencatat paling tidak ada empat orang pem-berontak dari Banyumas, yaitu Saradenta-Saradenti, Raja Namrud, dan Ki Bocor (Olthof, 1941). Serat Babad Kaliwungu atau Syair Perang Kali¬wungu mengunggulkan Secayuda atau Raja Darap Maolana Mahribi atau Abdul Kadir (Rochkyatmo, 1991: 52-61: bdk. Kuntowijoyo, 1993: 128), sedangkan Babad Kebumen atau Babad Arumbinangan menggambarkan dua orang bersaudara yang menjadi pemberontak dari Gunung Slamet yang bernama Damarmaya dan Mayadarma (Soemodidjojo, 1953:28). Di Jawa Barat, ada seorang tokoh yang bernama Dipati Ukur yang oleh orang Sunda dianggap sebagai pahlawannya yang memberontak kepada raja Mataram. Namun, anehnya lagi, Dipati Ukur menurut naskah Sunda juga dikatakan sebagai keturunan orang-orang Banyumas dari kerajaan Jambu Karang (Ekadjati, 1982: 348-355). Lebih aneh lagi, Kyai Wirakusuma, pu¬tra Ki Ageng Gumelem, yang berjasa memadamkan pemberontakan Di¬pati Ukur juga balik melawan Mataram. Kyai Wirakusuma merasa tidak puas karena jasanya itu tidak dihargai secara layak. Keberanian Wiraku¬suma itu harus ditebus dengan hukuman mati.
Uraian di atas kiranya menjadi jelas bahwa orang-orang Banyumas, baik yang tinggal di daerahnya sendiri maupun yang berada di luar mem¬punyai sifat dan perilaku melawan atau memberontak terhadap penguasa pada zamannya. Agaknya sifat dan perilaku itu menjadi prototipe karakter manusia Banyumas. Hal itu didukung oleh suatu realitas yang wajar, yaitu longgarnya keterikatan manusia Banyumas sebagai klien dari patron yang tidak membumi.

4. Manusia Banyumas menjadi pemberontak karena mereka hidup di luar lingkaran patron, baik Jawa maupun Sunda. Maka dari itu, budaya manusia Banyumas adalah budaya marginal atau budaya tanggung. Arti¬nya, kejawaan atau kesundaannya tidak mendalam. Bahasa Jawa dan Sunda sebagai salah satu unsur budaya telah mengalami pergeseran. Kedua bahasa itu mengenal tingkatan atau strata. Di lain pihak, bahasa dialek Banyumasan masih bertahan dalam kekunaannya. Orang Banyumas yang merasa keturunan raja Majapahit mempertahankan bahasa Jawa Per¬tengahan dari hegemoni bahasa dari dinasti Mataram Islam. Hal itu ter¬bukti pada masyarakat Banyumas di pedesaan yang belum terkonta-minasi bahasa baku. Bahasa Jawa Pertengahan berkembang dari masa akhir Ma¬japahit tidak mengenal strata bahasa sehingga bahasa tersebut lebih egaliterian daripada bahasa Jawa baku. Bahasa Jawa Pertengahan meru¬pakan nenek-moyang bahasa dialek Banyumasan yang dikenal sekarang. Manusia marginal biasanya hidup di dalam kebebasan budaya. Ekspresi budaya marginal sifatnya lebih khas, lebih bebas, apa adanya, kasar, dan terkesan urakan. Dilihat dari sisi keraton, budaya marginal adalah budaya yang kasar sehingga apabila diadopsi oleh keraton, maka budaya itu harus ada penghalusan dan pengemasan agar terkesan adiluhung dan lebih ber¬gengsi. Budaya marginal adalah fitrah bagi masyarakat Banyumas yanag selalu kritis dan mampu serta mau memberikan penilaian lain terhadap penguasa, baik di tingkat pusat maupun lokal.

Orang Banyumas Sering Konflik

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa dalam masyarakat Banyumas ditemukan banyaknya konflik antarkelompok atau antarkeluarga yang wilayahnya bisa antardesa di dalam satu kecamatan, antardesa yang berasal dari dua kecamatan yang berbeda, antardesa yang berada di dua kabupaten. Wilayah konflik itu kemungkinan dahulu tidak dipisahkan se¬cara administratif politik seperti sekarang. Realitas tersebut amat men¬colok, terutama pada masyarakat Banyumas yang tinggal di sebelah utara atau barat Sungai Serayu. Sebab-sebab munculnya konflik bermacam macam, entah masalah perkawinan, entah adu kesaktian, entah tuduhan kepada pihak lain melakukan kecurangan, entah kasus pembunuhan, entah fitnah, entah curiga, entah persaingan keluarga, atau tenung, dll.5
Kasus-kasus lama tersebut seringkali masih berlaku bagi masyarakat masa kini meskipun mereka tidak memahami peristiwa yang menjadi se¬bab. Mereka meneruskan larangan itu sebagai suatu tradisi dalam sistem kepercayaannya. Jika sesuatu sudah masuk ke wilayah kepercayaan, maka tradisi tersebut sukar berubah. Perubahan bisa terjadi biasanya memakan waktu yang lama. Hal itu juga didukung oleh persaingan atau perbedaan kepentingan yang terjadi di tingkat elite pedesaan. Konflik antarelite di pedesaan sangat berpengaruh di tingkat masyarakat kebanyakan. Apalagi di mata masyarakat umum ucapan para elite itu dianggap sebagai hukum atau bertuah, misalnya kalimat-kalimat persumpahan sangat ditakuti (Priyadi, 2001 d:9 1). Kata-kata seorang pemimpin yang berupa sumpah atau supata pada masa tradisional bisa terwujud. Ungkapan sabda pandhita ratu tan kena wola-wali menunjukkan bahwa ucapan seorang pemimpin itu sangat berwibawa sehingga seorang pemimpin diharapkan tidak berbi-cara seenaknya (Moedjanto, 1987: 145-149). Pada zaman Hindu, prasasti yang berisi penetapan sima (daerah bebas pajak) selalu diikuti dengan per¬sumpahan agar status daerah itu tidak berubah meskipun peta politik su¬dah berubah atau raja yang berkuasa berasal dari dinasti lain. Persumpa¬han pada waktu itu dianggap sebagai salah satu cara penyelesaian suatu masalah, termasuk larangan tadi. Konflik sosial adakalanya diredam den¬gan penyatuan kedua desa menjadi satu desa, tetapi konflik tersebut mun¬cul kembali pada masa kini, misalnya kasus desa Kalitinggar, Kecamatan Padamara, Purbalingga.

6. Konflik antardesa agaknya menjadi trend pada awal tahun 2000 yang lalu di Karesidenan Banyumas. Anehnya, peristiwa itu sebagian besar ter¬jadi di seberang utara dan barat Sungai Serayu. Kasus-kasus lama dan ka¬sus-kasus baru ternyata sama. Apakah budaya kekerasan di Banyumas, termasuk para pemberontak seperti yang ditulis di muka tumbuh subur di seberang utara dan barat Sungai Serayu ? Fakta sejarah mengindikasikan bahwa Sungai Serayu menjadi pembatas antara daerah konflik dengan daerah yang aman. Pengungsi-pengungsi perang lebih banyak ditemukan di sebelah selatan Serayu. Daerah sebelah utara dan barat tampaknya menjadi daerah yang terisolasi oleh kondisi geografisnya, antara Gunung Slamet dengan Sungai Serayu. Daerah yang lebih terisolasi adalah daerah yang dibatasi oleh Sungai Pelus, Serayu, dan Klawing. Atau yang lebih detail lagi adalah Purbalingga. Batas-batas alam seperti sungai mempen¬garuhi watak penduduknya sehingga keanekaragaman antar-penduduk lokal begitu besar. Interaksi antara manusia dengan alam menghasilkan bu¬daya yang keras.

7. Daerah Purbalingga adalah daerah yang dipisah-pisahkan oleh aliran sungai. Sungai-sungai besar yang mengalir melalui Purbalingga meliputi Serayu, Klawing, Gemuruh, Laban, Karang, Soso, Tambra, Gringsing, Pekacangan, Gintung, Bodhas, dan Ponggawa. Kondisi alam itu menye¬babkan masyarakatnya cenderung plural bila dibandingkan dengan pen¬duduk di kabupaten lainnya di Karesidenan Banyumas (Sudarso, 2002: 20-37).

8. Gejala tersebut menunjukkan bahwa keanekaragaman yang terisolasi alam dan ditambah dengan sikap saling mengolok-olok (poyo¬kan) itu menjadi dasar konflik masyarakat Banyumas di seberang utara atau barat Serayu.

Orang Banyumas Suka Bekerja Keras

Ada anggapan bahwa generasi tua merasa lebih berpengalaman bila dibandingkan dengan generasi muda. Seringkali, orang-orang tua memberi contoh pengalaman hidupnya yang penuh dengan perjuangan dan kepri¬hatinan sehingga kehidupan mereka jauh lebih baik dan berarti di masa kini. Mereka meluncurkan suatu ungkapan yang umum kita dengar, yakni sikil nggo endhas, endhas nggo sikil. Ungkapan tersebut merupakan sim¬bol kerja keras manusia Banyumas dalam segala tantangan kehidupan. Di situ, ada dua anggota tubuh manusia yang dipakai sebagai simbol, yaitu kaki dan kepala.

9.Agaknya, kepala ditempatkan pada posisi tertinggi sebagai simbol keintelektualan atau kekuasaan dan kehormatan. Seorang kawula yang menghadap raja, maka ada suatu etika yang harus ditaati, yakni tidak bo¬leh melihat wajah sang penguasa. Jika kawula tadi berani mendongakkan kepala, maka ia diartikan sebagai tindakan berani atau mbalela, sedangkan menundukkan kepala merupakan tanda takluk. Anak muda yang berani menatap mata orang tua ketika sedang berbicara juga dinilai sebagai orang yang tidak tahu sopan-santun (periksa Raka, 1963: 75-80).

10. Apa yang dilakukan kepala (melihat, mendengar, berpikir, makan atau minum) amat dihormati. Kerja kepala khususnya berpikir adalah yang mengawali atau mendasari tindakan yang lain. Oleh karena itu, pimpinan sering disebut kepala. Kepala harus memikirkan berbagai ma-salah, sedangkan ketua tidak. Ketua biasanya dipilih dari orang tua yang dituakan sehingga tidak dipertimbangkan unsur keintelektualan atau ke¬mampuannya. Lain halnya dengan kaki yang identik dengan orang keban¬yakan meskipun kaki juga dipakai sebagai lambang kehormatan dan lam-bang kekuasaan (Slametmuljana, 1980: 15-16 & Sumadio, 1984: 37-42).

11. Ungkapan sikil nggo endhas, endhas nggo sikil menyatakan secara harafiah bahwa kaki difungsikan untuk kepala atau kepala untuk kaki. Ungkapan tersebut mencerminkan bahwa ada fungsi yang berbeda diseta¬rakan. Sikil nggo endhas berarti menempatkan kaki sebagai kepala. Pada¬hal kaki tidak mungkin bisa berpikir seperti kepala. Kaki berjalan karena ada perintah dari kepala. Sekarang, kaki mencoba memerintahkan kepala untuk berjalan, endhas nggo sikil. Kepala juga tidak mungkin berjalan seperti kaki. Keduanya mempunyai fungsi yang berbeda dan tidak mung¬kin fungsi yang satu digantikan fungsi yang lain.
Sebenarnya, antara kepala dengan kaki dipakai sebagai simbol ke-hormatan dan kekuasaan. Secara simbolik, kepala dan kaki mencerminkan binary opposition antara elite dengan orang kebanyakan, antara kerja otak dengan kerja kasar, dan seterusnya. Dilihat dari kualitasnya, kerja otak memang dihargai lebih mahal daripada kerja kasar. Namun, ketika kerja otak dipadukan dengan kerja kasar, maka hasilnya akan lebih maksimal. Ungkapan Banyumasan itu menjelaskan bahwa orang Banyumas sebai¬knya bisa bekerja keras dengan otak dan tenaganya. Orang Banyumas juga tidak perlu malu melakukan kerja kasar asal halal dan tidak melanggar norma dan hukum. Kerja keras secara maksimal akan menjadi kunci ke¬berhasilan bagi siapapun, termasuk orang Banyumas. Etos kerja keras manusia Banyumas muncul karena tantangam alam antara Gunung Slamet dengan Sungai Serayu. Jika manusia Banyumas bisa menaklukan keduanya dengan Godo Rujakpolo (alat dan otak), maka ia selalu dapat menciptakan sejarah baru di masa depan.

Masyarakat Egaliter
Bagi orang Banyumas, seseorang jauh lebih dihargai dalam pergau-lan sehari-hari apabila ia menegur lawan bicara dengan menyebut namanya.

12. Orang Banyumas kadang-kadang tidak memperhatikan sebutan yang erat dengan status sosial. Asalkan ia mengenal dengan baik nama orang itu, maka ia berperilaku penuh dengan keakraban. Hal itu tampak dalam kehidupan sehari-hari. Orang menyebut dengan inyong untuk dir¬inya sendiri dan ko, kono, dan kowe, atau rika untuk orang lain.
Kampanye bahasa Jawa baku memang diintensifkan oleh raja-raja Jawa Tengah selatan terhadap kalangan elite tradisional. Sebagai contohnya, dalam otobiografi Bupati Banyumas (1933-1950) Sudjiman Mertadiredja Gandasubrata (1952) menyatakan bahwa ia mendapat didikan Jawa dalam suasana feodalistik. Penghormatan kepada orang yang lebih tua sangat di¬utamakan.

13. Gaya hidup bupati di daerah mancanegara atau di wilayah kekuasaan kolonial Belanda mewarisi budaya patron yang berpusat di keraton¬keraton Jawa. Oleh karena itu, kesetiaan elite Banyumas terhadap para raja Jawa lebih besar daripada orang-orang Banyumas yang tinggal di pedesaan. Orang-orang desa yang akrab dengan lingkungan alam daerah Banyumas menggalang sikap kesepadanannya. Etika kesepadanan manu¬sia Banyumas ini bersifat universal karena etika tersebut dibangun atas dasar etika humanitarian yang memunculkan kekuatan solidaritas Banyu¬mas yang membedakan antara Jawa-Banyumas dengan Jawa lainnya. Keegaliteran manusia Banyumas melahirkan prinsip kerukunan yang di¬junjung tinggi dengan filosofisnya yang tinggi, yakni ungkapan tenimbang pager wesi, mendhingan pager tai sehingga melahirkan prinsip aman dan ketentraman. Bertetangga berarti saling menjaga rasa aman dalam ke-hidupan kolektif.
Sikap egaliter itu akan menjauhkan setiap individu dari sikap feo-dalistik yang menempatkan kedudukan, pangkat, dan harta sebagai kiblat hubungan sosial. Oleh karena itu, ungkapan wong desa seperti ngisor galeng, dhuwur galeng dijunjung tinggi karena setiap makhluk mempun¬yai kedudukan yang sama di mata Tuhan. Di sisi lain, etika kesepadanan juga telah membentuk masyarakat Banyumas yang menonjolkan sikap¬sikap seperti penjorangan, semblothongan, atau glewehan yang berlebih¬lebihan (Priyadi, 2000: 121). Seolah-olah batas etika sering dilangkahi demi suatu keakraban dengan orang lain sesama wong Banyumas. Berbi¬cara brecuh atau ngomong dengan kata-kata saru sudah merupakan hal yang biasa. Umpatan kata-kata kotor tidak akan menyinggung perasaan sesama orang Banyumas, tetapi justru menguatkan keakraban. Pendek kata, Orang Banyumas sering dituding kasar, tidak tahu etika, urakan, dan sebagainya oleh orang luar.
Orang Banyumas memang terlalu bebas dalam kehidupan ber-budayanya sebagai orang-orang yang tinggal di daerah marginal. Hal itu berarti bahwa wong Banyumas terbuka dalam berinteraksi dengan masyarakat di luar suku atau primordialnya. Kedekatan dengan dua atau lebih kebudayaan memang membuka cakrawala atau sudut pandang manusia Banyumas, baik terhadap dirinya sendiri maupun orang lain. Kontak budaya Jawa dan Sunda di Banyumas telah menempatkan sikap Carub Bawor dalam sendi-sendi pergaulan secara luas. Simbol panakawan itu menjelaskan bahwa wong Banyumas itu terbuka dalam pergaulan hidup sehari-hari yang disebut cablaka atau blakasuta. Tokoh wayang yang lain seperti Lingsanggeni, Antasena, Werkudara, dan para panaka¬wan dalam pertunjukan wayang kulit gagrag Banyumasan merupakan lambang keegaliteran wong Banyumas.

Orang-orang Bebas
Jika kita mengamati kehidupan orang-orang Banyumas, maka tam-paklah bahwa mereka adalah orang-orang bebas dalam kehidupan yang sesungguhnya. Kebebasan yang tercermin dalam pergaulan sehari-hari, misalnya mereka berbicara cowag yang kesannya seperti orang-orang yang sedang bertengkar. Kesan itu timbul pada orang-orang luar yang baru datang ke daerah Banyumas sehingga mereka sering terkecoh. Pada¬hal, pembicaraan seperti itu merupakan suatu hal yang sangat biasa. Ber¬bicara dengan nada cowag tadi memang salah satu ciri khas orang Banyumas. Nada lemah-lembut dalam percakapan bahasa Jawa baku tidak bisa terjiwai oleh masyarakat Banyumas. Agaknya fitrah kecowagan manusia Banyumas telah ada sejak ratusan tahun yang lalu setua dengan terciptanya komunitas Banyumas. Memang hal itu tidak dapat dilepaskan dengan bahasa ibu mereka yang cenderung reyang. Agaknya bahasa dialek Banyumasan yang diwariskan nenek-moyang mereka sangat akrab dengan pola kecowagan orang Banyumas.
Cara berbicara orang Banyumas memang ada kemiripan dengan orang-orang Sunda yang juga berbicara keras meskipun mereka sedang ti¬dak bertengkar sehingga muncul istilah Jawa Reyang atau Sunda Reyang.

Gejala tersebut sangat menarik apabila dikaji dari kultur mereka yang memang cenderung bebas. Budaya Banyumasan yang tergolong pinggiran budaya Jawa baku mendapat pengaruh yang tidak begitu kuat, baik dari patron budaya Jawa baru maupun Sunda. Sisa-sisa budaya Jawa Kuna memang sangat tampak pada sejumlah kosa-kata sehingga Banyumas menjadi pusat budaya yang didasarkan atas dialek Banyu-masan. Di situ, perilaku masyarakat Banyumas sudah menyatu dengan pola bahasa mereka yang juga bersifat bebas. Orang Banyumas lebih bebas dalam mengekspresikan ide atau gagasannya. Hal itu diperkuat dengan kecowa¬gannya sehingga gaya bicara wong Banyumas tampak mantap. Penguca¬pan, baik vokal maupun konsonannya sangat jelas terdengar sehingga suara yang keluar dari bibir tidak klemak-klemek. Dialog dalam pertunju¬kan wayang kulit atau ketoprak lebih mengesankan suara lugas. Sean¬dainya wong Banyumas sedang bicara berbisik-bisik pun akan terdengar. Cowag dan reyang agaknya menjadi fenomena tersendiri dalam khasanah kehidupan budaya manusia Banyumas. Rasanya berbicara tanpa nada cowag dan reyang bukanlah sesuatu yang menyenangkan. Jika pembi¬caraan diatur dengan cara berbisik, maka sama saja mereka dibatasi kebe¬basannya. Dalam percakapan sehari-hari, baik serius atau tidak, bisa tim¬bul persaingan berbicara cowag yang disangka oleh banyak orang luar seperti sedang 'padu atau bertengkar di antara para pembicara.
Kebebasan gaya Banyumasan juga kelihatan dari pemakaian kata yang bervariasi. Contohnya, ada pemakaian kata kepriben, kepriwen, ke¬primen, dan keprigen yang juga menunjukkan keanekaragaman wilayah geografis bahasa dialek Banyumasan. Memang konsonan pada ketiga kata yang pertama masih dekat daripada keprigen. Ada kesan bahwa wong Banyumas dalam berbahasa sering sekarepe dhewek sehingga variasi kata menjadi semakin kaya.

14. Di samping dari segi bahasa, kesenian Banyumas juga menunjukkan nafas kebebasan. Musik gamelan, suara penyanyi waranggana yang lugas, teriakan-teriakan gembira atau tepukan tangan para penabuh gam-elan mencerminkan karakter kebebasan gaya Banyumasan. Tembang¬tembang Banyumasan lama, seperti Kembang Glepang atau ilogondhang menggambarkan dialog yang terbebas dari kekangan seni yang dianggap adiluhung sebagaimana dilakukan para seniman di keraton.
Di bidang religi, masyarakat Banyumas juga tidak lepas dari jiwa kebebasan. Upacara Begalan misalnya dalam adat perkawinan masyarakat Banyumas bertujuan meruwat atau membebaskan segala pengaruh buruk atau bencana dari kehidupan mereka. Meskipun Begalan merupakan salah satu upacara penting dalam ritus peralihan, tetapi dialog-dialog yang me¬luncur pun tidak kaku, bahkan yang mencolok justru improvisasi dari para pelakunya. Jadi, sistem ritus dan upacara Begalan yang berbentuk aktivi¬tas manusia bisa berubah, tetapi emosi religi, sistem keyakinan, dan pera¬latan ritusnya tetap. Jiwa bebas orang-orang Banyumas bisa menjadi salah satu faktor yang memacu kreativitas, inisiatif, dan kemajuan. Masyarakat yang hidup terkekang cenderung mendewakan budaya segala sesuatu den¬gan keadiluhungannya sehingga mereka statis. Maka dari itu, seniman dari luar keraton seperti Dalang Panjangmas yang berasal dari Kedu-Bagelen, misalnya direkrut menjadi dalang keraton Kasunanan Surakarta dan secara turun-temurun menjadi dalang andalan, khususnya yang memonopoli upacara ruwatan di keraton (bdk. Groenendael, 1987: 96). Orang sering keliru bahwa budaya adiluhung selalu diciptakan di istana. Barangkali da¬pat membandingkan dengan hal itu pada masa kini. Artis-artis ibu kota banyak yang berasal dari artis-artis daerah. Orang Banyumas yang direk¬rut ke keraton, misalnya Tumenggung Yudanegara III, menjadi Pepatih Dalem Kasultanan Yogyakarta yang pertama oleh Sultan Hamengku Bu¬wana I.


Orang-orang Vulgar
Rupanya orang Banyumas termasuk orang-orang yang suka blag-blagan. Artinya, mereka sangat terbuka dalam membicarakan segala se¬suatu, tidak terkecuali masalah seks. Teks Babad Pasir yang berasal dari Kademangan Pasir Wetan menggambarkan hubungan seksual antara Raden Kamandaka dengan Ciptarasa. Adegan panas itu dilukiskan dua kali.

15. Teks Babad Pasir di atas merupakan terbitan J. Knebel (1900) dalam Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Weten¬schappen (VBG) jilid LI. Teks terbitan Knebel diterbitkan kembali oleh Balai Pustaka pada tahun 1931, 1961, dan 1985. Khusus terbitan Hardjana (1985) yang disertai dengan terjemahan itu menyensor adegan seks terse-but dengan pertimbangan akan dibaca oleh anak-anak. Hal itu juga dila¬kukan oleh penyalin teks Cariyos Kamandaka yang berasal dari Kademangan Pasir Kulon. Pelukisan adegan tersebut tampaknya juga termuat dalam teks-teks Babad Pasir yang ditemukan di tempat lain, misalnya Ba¬bad Kamandaka (teks tembang) dari Kademangan Pasir Kidul, Babad Pasir (teks tembang) dari Taman Sari, teks gancaran Babad Pasir (Raden Kamandaka) dari Pekunden Banyumas, dan Babad Pasirluhur (teks gan¬caran) dari Kedungrandu.
Teks Pekunden adalah karya Ki S. Wigno. Ki S.Wigno adalah tokoh pejuang yang pernah dibuang ke Digul oleh Belanda. Beliau sering menu¬lis teks-teks babad, baik Babad Banyumas maupun Babad Pasir. Khusus teks Babad Pasir, beliau menulis dua naskah Babad Pasir (Raden Kaman¬daka) dan Lajang Raden Kamandaka ija Lutung Kesarung (Ekadjati & Darsa, 1999: 18-19 dan 211-212). Teks pertama merupakan karya trans¬formasi dari terbitan Knebel, sedangkan teks kedua adalah teks skenario kethoprak. Teks pertama Ki S. Wigno menceritakan hal di atas lebih vul¬gar.16 Ki S. Wigno menjelaskan krida asmara antara Putri Pasirluhur Dewi Ciptarasa dengan putra raja Pajajaran Raden Banyak Catra. Sajian adegan vulgar seperti itu sering ditemukan dalam teks-teks lama seperti karya-karya sastra Jawa Kuna. Tradisi sastra kakawin sebagaimana pernah dikaji oleh Supomo (1985: 383-414) dari The Australian National Uni¬versity, Canberra, Australia dalam tulisannya yang berjudul Kama di dalam Kakawin. Tulisan yang dipersembahkan kepada salah seorang dari Sapta Resi Fakultas Sastra Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. P.J. Zoet¬mulder itu memperlihatkan bahwa sastra kakawin dari masa Jawa Kuna cenderung sangat vulgar dalam menggambarkan adegan seks. Supomo mengutip beberapa karya kakawin, misalnya Ramayana, Arjunawijaya, Bharatayuddha, Sumanasantaka, Subhadrawiwaha, dll.
Kiranya karya sastra Banyumas yang berupa teks Babad Pasir yang separonya berisi kisah legenda lokal Raden Kamandaka atau Lutung Ke¬sarung meniru cara pelukisan adegan panas model sastra kakawin yang berkembang pada abad ke-9 sampai abad ke-15 masehi. Budaya Jawa Kuna merambah kehidupan masyarakat Banyumas pada masa Majapahit. Keterbukaan atau sifat blag-blagan orang Banyumas agaknya dipengaruhi oleh budaya Jawa Kuna yang berasal dari patron budayanya di Jawa Timur, khususnya di bidang bahasa dan sastra. Bahasa dan sastra memang merupakan suatu media bagaimana manusia mengekspresikan dirinya. Jiwa zaman (zeitgeist) akan tercermin pada karya sastra sebagai hasil

keintelektualan zamannya sehingga sejarah sastra dapat dimanfaatkan untuk penulisan sejarah intelektual masyarakat Banyumas.

17. Budaya Afirmatif dan Budaya Kritis
Orang Banyumas ternyata memiliki dua kutub karakter yang bertolak belakang. Di satu sisi, orang cenderung afirmatif terhadap pihak penguasa dan di sisi lain sangat kritis (bdk. Kuntowijoyo, 1994: 62). Ada dua kasus yang menarik perhatian penulis, terutama kejadian yang menyangkut Patih Wirakencana-Banyak Thole dalam teks Babad Pasir dan Kaduhu-Bagus Buwang dalam teks Babad Banyumas versi Mertadiredjan. Patih Wira¬kencana dan Kaduhu menampakkan karakter afirmatifnya kepada kekua¬saan, sedangkan Banyak Thole dan Bagus Buwang menunjukkan kekri¬tisannya. Kasus Thole sering dinilai miring oleh teks Babad Pasir. Thole digambarkan memiliki karakter yang buruk sebagai anak durhaka yang membunuh ayahnya dengan cara menguburkannya hidup-hidup ketika se¬dang menderita sakit keras. Di samping itu, Thole juga dicap sebagai orang yang murtad dari agama Islam dan memeluk kembali agama Budha. Selanjutnya, Thole mencanangkan kemerdekaan dari kekuasaan Demak.
Apa yang dilakukan Thole sungguh sangat berlawanan dengan ayah¬nya. Banyak Belanak dalam teks Babad Pasir dijunjung sebagai pahlawan Islam yang diakui banyak jasanya oleh penguasa Demak. Banyak Belanak ibarat wali lokal yang mengislamkan penduduk Pasirluhur dan seki¬tarnya, bahkan sampai di daerah Jawa Barat bagian timur. Yang lebih he-bat lagi, Banyak Belanak juga mengislamkan penduduk di daerah pedala¬man Jawa Timur dan puncak perannya adalah ikut mendirikan Masjid Agung Demak. Sebagai pahlawan Islam, Banyak Belanak diberi hadiah tanah 8000 dhomas dan gelar Pangeran Senapati Mangkubumi I oleh Sul¬tan Demak.
Perilaku Thole ternyata sangat meresahkan pamannya yang me-mangku jabatan patih. Patih Wirakencana tidak menyetujui keputusan Thole untuk membangkang kepada penguasa Demak karena Pasirluhur ti¬dak mungkin bisa menghadapi kekuatan atau dominasi Demak. Nasihat Wirakencana itu dinilai oleh Thole bahwa pamannya tidak memiliki ke¬lanangan atau penakut. Keberpihakan Wirakencana kepada Demak sangat mengecewakan Thole sehingga ia memberikan pepali bahwa adipati Pasir tidak boleh mengambil paman sebagai patih karena Wirakencana dianggap sebagai pengkhianat.
Kekritisan Thole secara eksplisit telah divonis terlalu berat sebagai anak durhaka dan orang murtad karena ia berada di pihak yang kalah. Kisah pembunuhan terhadap sang ayah barangkali merupakan kisah sim¬bolik sebagai bentuk sikap oposisi atau perlawanan. Artinya, Thole tidak melakukan pembunuhan yang sesungguhnya, tetapi sikap oposisi itu su¬dah dilakukannya ketika ayahnya masih hidup. Perilaku Thole yang bertolak belakang itu telah membunuh jasa-jasa besar ayahnya. Karena sang ayah itu berjasa dalam usaha penyebaran agama Islam, maka sikap Thole dianggap sebagai bentuk kemurtadan yang harus dibasmi oleh sang pen¬guasa. Dengan demikian, kekritisan Thole telah dikubur dengan cerita yang berkonotasi jelek sebagai korban yang kalah dalam sejarah. Wira¬kencana sebagai pihak yang menang bisa memanipulasi cerita yang berke¬san buruk terhadap pihak yang kalah. Wirakencana yang tadinya patih naik jabatannya menjadi adipati dengan gelar yang sama dengan kakaknya, yaitu Pangeran Senapati Mangkubumi II.

18. Kasus Kaduhu-Bagus Buwang pun tidak berbeda dengan kasus Wirakencana-Thole di atas. Babad Banyumas versi Mertadiredjan meru¬pakan satu-satunya teks yang menceritakan secara detail kisah hidup Kaduhu yang di kemudian hari menjadi adipati Wirasaba. Kaduhu adalah putra Raden Putra yang lahir dari istri yang berasal dari keturunan raja-raja Pajajaran. Kaduhu mengembara dari Pajajaran ke daerah Wirasaba dan diangkat anak oleh Adipati Surawin atau Adipati Peguwon III. Pe¬rubahan sejarah Wirasaba terjadi ketika Adipati Surawin berhalangan datang ke ibu kota Majapahit karena sakit sehingga Kaduhu disuruh me¬wakilinya. Keberangkatan Kaduhu didampingi oleh pamannya yang ber¬nama Bagus Buwang. Bagus Buwang adalah adik Adipati Surawin yang lahir dari ibu yang berstatus selir. Realitas menunjukkan bahwa kedatan¬gan Kaduhu ke Majapahit telah menghubungkan tali kekerabatan yang terputus karena Raden Putra adalah adik raja Majapahit yang mengembara ke tanah Pasundan.
Karakter afirmatif Kaduhu memang tidak ditonjolkan di sini, tetapi legitimasi sebagai kemenakan raja yang berhak meminta daerah mana pun yang berada di bawah kekuasaan Majapahit dimunculkan oleh teks. Pen¬gangkatan Kaduhu menjadi adipati Wirasaba dengan gelar Adipati Marga Utama oleh raja Majapahit menjelaskan sikap kritis Bagus Buwang. Bagus Buwang merasa bahwa kakaknya telah dikebiri oleh raja karena sikap afirmatif Kaduhu. Kekritisan Bagus Buwang dalam teks Mertadiredjan dinilai sebagai sikap ambisi untuk menggantikan kakaknya yang tidak mempunyai anak laki-laki. Apa lagi ada semacam tuduhan bahwa Bagus Buwang memfitnah Kaduhu yang telah merebut jabatan adipati. Berkat fitnah Bagus Buwang itu, Sang Adipati sempat mengeluarkan pepali bahwa orang Wirasaba tidak boleh mengangkat atau mengadopsi anak laki-laki. Selain itu, sikap ambisi Bagus Buwang juga ditampilkan dengan perlawanan dan peperangan yang merenggut nyawa anak dan dirinya sendiri. Kematian Buwang dianggap oleh teks sebagai ngundhuh wohing pakarti. Bagus Buwang juga dinilai sebagai pihak yang bersalah. Agaknya, orang-orang kritis yang berada di pihak yang kalah itu selalu disalahkan oleh sejarah. Hal itu terjadi karena sejarah yang ditulis juga cenderung afirmatif terhadap dominasi penguasa. Orang-orang yang afir¬matif senantiasa menjadi pahlawan dan pihak yang selalu benar dalam se¬jarah. Budaya afirmatif dan budaya kritis secara langsung melahirkan budaya kambing hitam yang tidak mungkin dihapuskan dalam khasanah sejarah manusia.

KESIMPULAN
Nama Banyumas menunjukkan kepada suatu karakter manusia Banyumas yang selalu berusaha mencapai kejayaan atau meraih masa keemasan. Prinsip hijrah amat mendukung upaya tersebut. Di samping itu, karakter lain yang menonjol adalah suka memberontak terhadap para pen¬guasa dan juga sering konflik di antara mereka sendiri sehingga muncul daerah-daerah pantangan nikah di Banyumas.
Masyarakat Banyumas dengan bersendikan bahasa dialek Banyuma¬san telah membangun budaya egaliter, yaitu mengakui kesepadanan antara anggota warganya. Hal itu berpengaruh pada cara bicara orang Banyumas yang terlalu bebas sehingga kesan yang tampak adalah orang Banyumas itu kasar. Kebebasan tadi agaknya juga terkait dengan kevulgaran orang Banyumas dalam membicarakan masalah seks. Hal lain yang menarik dari manusia Banyumas adalah munculnya budaya afirmatif dan budaya kritis. Kedua budaya tersebut secara langsung melahirkan budaya kambing hitam yang tidak mungkin dihapuskan dalam penulisan sejarah.

DAFTAR RUJUKAN
Bertens, Kees. 1991. Sigmund Freud Memperkenalkan Psikoanalisa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Ekadjati, Edi Suhardi. 1982. Cerita Dipati Ukur, Karya Sastra Sejarah Sunda. Jakarta: Pustaka Jaya.
Ekadjati, Edi Suhardi & Undang A. Darsa. 1999. Katalog Induk Naskah-naskah Nusantara Jilid 5A: Jawa Barat Koleksi Lima Lembaga. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia-EFEO.
Gandasubrata, Sudjiman Mertadiredja. 1952. Kenang-kenangan 1 933-1950 Bagian I. Purwokerto: Pertjetakan Seraju.
Graaf, H.J. de. 1985. Awal Kebangkitan Mataram. Masa Pemerintahan Senapati. Jakarta: Grafitipers
Groenendael, Victoria M. Clara van. 1987. Dalang di Balik Wayang. Jakarta: Grafitipers.
Knebel, J. 1900. Babad Pasir, Volgens een Banjoemaasch Handschrift bescre¬ven. Verhandelingen van het Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen. deel LI: 1-155.
Kartodirdjo, Sartono. 1982. Pemikiran dan Perkembangan Historiografi Indone-sia, Suatu Alternatif. Jakarta: Gramedia.
Kartodirdjo, Sartono. 1990. Kebudayaan Pembangunan dalam Perspektif Se¬jarah. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Kartodirdjo, Sartono. 1992. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kartodirdjo, Sartono. 1993. Pembangunan Bangsa tentang Nasionalisme, Kesa
daran, dan Kebudayaan Nasional. Yogyakarta: Aditya Media. Koentjaraningrat. 1982. Sejarah Teori Antropologi I, Jakarta: UI-Press. Kuntowijoyo. 1987. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: Tiara Wacana. Kuntowijoyo. 1993. Radikalisasi Petani. Yogyakarta: Bentang Budaya. Kuntowijoyo. 1994. Demokrasi dan Budaya Demokrasi. Yogyakarta: Bentang
Budaya.
Kuntowijoyo. 1995. Pengantar Ilmu Sejarah. Yogyakarta: Bentang Budaya. Moedjanto, G. 1987. Konsep Kekuasaan Jawa Penerapannya oleh Raja-raja Mataram. Yogyakarta: Kanisius.
Notosusanto, Nugroho. 1978. Masalah Penelitian Sejarah Kontemporer (Suatu Pengalaman). Jakarta: Yayasan Idayu.
Olthof, W.L. 1941. Poenika Serat Babad Tanah Djawi wiwit saking Nabi Adam doemoegi ing Taoen 1647. s-Gravenhage: Martinus Nijhoff.
Poerbatjaraka, 1992. Agastya di Nusantara. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Priyadi, Sugeng. 2000. Fenomena Kebudayaan yang Tercermin dari Dialek Banyumasan, dalam Humaniora, No.1. Yogyakarta: Fakultas Sastra, Uni

versitas Gadjah Mada.
Priyadi, Sugeng, 2001 a. Makna Pantangan Sabtu Pahing. Yogyakarta: Kaliwangi Offset.
Priyadi, Sugeng, 2001b. Tinjauan Ulang Hari Jadi Kabupaten Banyumas. Yogyakarta: Kaliwangi Offset.
Priyadi, Sugeng, 2001c. Babad Banyumas: Budaya Pantangan dan Pantangan Sabtu Pahing, Jurnal Bahasa dan Seni, edisi khusus, tahun 29, Oktober. Malang: Fakultas Sastra, Universitas Negeri Malang.
Priyadi, Sugeng, 2001d. Perdikan Cahyana, dalam Humaniora, Volume XIII, No.1. Yogyakarta: Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada.
Priyadi, Sugeng, 2002a. Banyumas antara Jawa dan Sunda. Semarang: Mimbar-The Ford Foundation-Yayasan Adhikarya Ikapi.
Priyadi, Sugeng, 2002b. Babad Pasir: Banyumas dan Sunda, dalam Humaniora,
Volume XIV, No.2. Yogyakarta: Fakultas Sastra, Universitas Gadjah Mada. Raka, A.A.G., 1963. Terdjadinja Nama Desa Bedulu, dalam Prawiraatmadja.
Tjerita Rakjat II. Djakarta: Balai Pustaka.
Rochkyatmo, Amir. 1991. Babad Kaliwungu, dalam S.W.R. Mulyadi (editor). Naskah dan Kita. Lembaran Sastra, nomor khusus (Januari). Jakarta: Fakul-tas Sastra, Universitas Indonesia.
Slametmuljana, 1980. Dari Holotan ke Jayakarta. Jakarta: Yayasan Idayu. Soemodidjojo, 1953. Babad Warni-warni. Jogjakarta: Soemodidjojo Mahadewa. Sudarso, 2002. Slogan-slogan di Desa-desa dalam Wilayah Kecamatan Rem
bang dan Kecamatan Karangmoncol, Skripsi. Purwokerto: FKIP
Universitas Muhammadiyah Purwokerto.
Sumadio, dkk., Bambang. 1984. Sejarah Nasional Indonesia II. Jakarta: Depar-temen Pendidikan dan Kebudayaan-Balai Pustaka.
Supomo, S. 1985. Kama di dalam Kakawin, dalam Sulastin-Sutrisno, Darusu-prapta, Sudaryanto (ed). Bahasa Sastra Budaya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

BACA CATATAN AKHIRNYA

0 komentar: On SEJARAH ORANG BANYUMAS

Posting Komentar

Entri Populer

tempat iklan
Grab this Widget ~ Blogger Accessories
 
bottom