CATATAN AKHIR
1Tentu saja berita legenda seperti itu belum dapat dipercaya manakala penemuan benda-benda arkeologis belum terjadi. Sungai Banyumas mengalir dari mata air Sumur Mas sangat dikenal airnya sangat jernih. Sungai Banyumas men-jadi awal-mula munculnya nama itu pada menjelang sepertiga terakhir abad ke-16 Masehi. Mengapa nama sungai itu diberi nama Banyumas ? Pertanyaan tadi kiranya sukar untuk dijawab karena sumber-sumber sejarah yang berkaitan den¬gan hal itu sangat terbatas. Lagi pula legenda yang hidup dalam masyarakat telah mengalami distorsi. Barangkali memang benar bahwa nama Banyumas hanyalah simbol saja dan tidak menyatakan realitas geografi fisiknya.
2 Pantangan kawin dengan orang-orang Toyareka itu bukan suatu bentuk antipati yang berlebihan masyarakat Banyumas, tetapi tabu tersebut merupakan upaya untuk menghindari kasus sejarah berulang itu terjadi. Toyareka adalah ka¬but hitam sejarah Banyumas yang menyelimuti keturunan Wirasaba, termasuk keturunan Warga Utama II di Banyumas. Oleh karena itu, Warga Utama II mem-bagi empat Wirasaba dan memilih pindah ke tempat yang baru. Peristiwa pem-bagian dan perpindahan itu tidak berkaitan dengan saudara-saudara iparnya, me-lainkan dengan Toyareka. Jika Warga Utama II tetap tinggal di Wirasaba, maka konflik Wirasaba dengan Toyareka bisa meruncing. Akibatnya pantangan itu ti-dak dilaksanakan, yaitu menghindari konflik terbuka. Tradisi lisan yang hidup dalam masyarakat Toyareka, ada gej ala bahwa pihak Toyareka sangat mengecam Warga Utama I yang menyerahkan putrinya ke Pajang sebagai tindakan yang ti¬dak pantas dilakukan oleh seorang adipati. Jadi, di sisi lain juga ada pantangan balik atau budaya oposan yang muncul setelah adipati Wirasaba menyampaikan tabu kawin dengan orang-orang Toyareka. Orang-orang Wirasaba masih memiliki dendam atas perlakuan buruk pihak Toyareka.
3Kedua pantangan kedua belah pihak meluas, yaitu antara penduduk di desa-desa di sebelah utara dengan penduduk di desa-desa di sebelah selatan Sun-gai Klawing, tanpa melihat lagi faktor keturunan. Kiranya keluarga Demang Toyareka pun dipadamkan secara tuntas oleh raja. Tidak seorang pun penduduk desa Toyareka yang mengaku atau merasa keturunan sang demang, bahkan makam demang tersebut sukar dilacak.
4Artinya, raja-raja Jawa yang menjadi patron lebih mengikat para elite tra-disional di tingkat lokal daripada manusia Banyumas pada umumnya yang tinggal di pedesaan. Meskipun keterikatan elite lokal dibangun oleh para penguasa, tetapi para elite pun tidak bisa melepaskan diri dari karakter tadi. Para bupati Banyumas yang memakai gelar Yudanegara sering diragukan kesetiaannya kepada raja. Empat dari lima orang bupati yang bergelar Yudanegara dicatat mempunyai ma¬salah yang serius dengan patronnya. Oleh karena itu, hukuman mati dan pemeca¬tan ditimpakan oleh raja kepada mereka. Dengan demikian, para pemberontak dari Banyumas tidak dilahirkan hanya dari kalangan kebanyakan, tetapi juga dari kalangan elite.
5Konflik tersebut melahirkan larangan nikah penduduk antardesa, antarke-camatan, antarkabupaten, misalnya kasus Karangsari-Kedhungwuluh (Kecamatan Kalimanah, Purbalingga), Cipaku-Onje (Kecamatan Mrebet, Purbalingga), Karangcegak-Tambaksogra (Kecamatan Sumbang, Banyumas), Wirasaba (Ke¬camatan Bukateja, Purbalingga)-Toyareka (Kecamatan Kemangkon, Purbal¬ingga), Banjaranyar (Kecamatan Sokaraja, Banyumas)-Kramat (Kecamatan Kembaran, Banyumas), Wiradadi (Kecamatan Sokaraja, Banyumas)-Pekaja (Kecamatan Kalibagor, Banyumas), Jompo Wetan (Kecamatan Kalimanah, Purbal-ingga)-Jompo Kulon (Kecamatan Sokaraja, Banyumas), atau keturunan Di-pamenggalan (Dipayuda, Banjarnegara)-keturunan Kyai Arsantaka (Dipayuda, Purbalingga). Barangkali, daftar itu bisa lebih panjang lagi apabila ditelusuri ka-sus-kasus masa lalu di tingkat pedesaan.
6Kalitinggar merupakan penyatuan dua desa, yaitu Kaligawe dan Tinggar-jaya. Pada masa kolonial terjadi konflik antarpenduduk kedua desa itu. Pada masa kini, ada keinginan kedua desa yang telah disatukan itu untuk berpisah. Kasus ini menunjukkan bahwa penyelesaian konflik tidak memuaskan dan ada kesan bahwa penyatuan kedua desa itu hanyalah penyelesaian yang dipaksakan. Konflik seyogyanya diselesaikan tanpa ada satu pihak pun yang dirugikan.
7Penduduk yang tinggal di Daerah Aliran Sungai Karang menciptakan tanda pengingat bagi kerasnya alam dengan ungkapan Karang Beyek. Artinya, jika air banjir Sungai Karang telah setinggi beyekan (pinggang), maka orang yang men-yeberangi sungai tersebut akan hanyut. Kasus yang sama juga tampak pada ung-kapan Gintung Gulu (Sungai Gintung) dan Bodhas Gathel atau Bodhas Konthol (Sungai Bodhas). Leher dan alat kelamin pria dipakai sebagai ukuran bahaya atau tidaknya air banjir masing-masing sungai.
8Contoh kasus di Kecamatan Rembang dan Karangmoncol, Kabupaten Pur-balingga terdapat julukan yang diberikan penduduk desa yang satu terhadap pen-duduk desa yang lain (kalau sekarang semacam motto kabupaten) yang cenderung negatif, misalnya desa Makam-Gedebus, Losari-drengki, Sumampir-Criwis, Bantarbarang-Kanjat, Karangmoncol-Kededer, Pepedan-Jetis, Karangjati-Gembrolang, Tajug-Gedubrug, Pekiringan-Pethingthing, Rajawana-Kesimpar, Grantung-Krumpyung (Sudarso, 2002: 20-37).
9Pembagian kategori masyarakat dalam sistem kasta di India, juga meng-gunakan lambang-lambang anggota tubuh, misalnya kepala untuk kaum Brah-mana, tangan untuk ksatria, dan kaki untuk waisya, sedangkan sudra di luar dari ketiganya. Hal yang sama juga tampak pula pada legenda masyarakat Jawa Ten¬gah di pantai utara tentang tiga makam Arya Penangsang. Kata legenda tersebut kepala Arya Penangsang dikuburkan di kota Demak (lambang kota wali), perut¬nya dimakamkan di Kudus (lambang kota usaha), dan kakinya di daerah Cepu (lambang orang desa atau pejalan kaki). Atau para penganut Kejawen di Gunung Srandhil, juga mempunyai pemahaman seperti itu. Kata mereka, Sumur Mas di kota Banyumas adalah sirahing sumur, Sumur Banyu Mudal di sebelah selatan Banyumas sebagai pusering sumur, sedangkan Srandhil sebagai kaki (umat kejawen atau orang kebanyakan). Dengan demikian, kepala, badan (perut dan tangan), dan kaki merupakan rangkaian simbol yang tidak terpisahkan.
10Legenda raja Bedulu di Pulau Bali, misalnya, menceritakan bahwa rakyat dilarang melihat wajah rajanya karena kepala sang raja berbeda dengan manusia pada umumnya. Kata Bedulu berasal dari Beda hulu (beda kepala). Ketika Maja-pahit berusaha menaklukan Bedulu, Patih Gajah Mada mencuri lihat dengan pesanan sayur pakis dan minuman air kendi. Gajah Mada akan mendongakkan kepalanya ketika makan sayur pakis dan minum air kendi. Seharusnya Gajah Mada dihukum mati, tetapi pada masa itu juga ada etika bahwa orang yang se-dang makan tidak boleh dibunuh.
11Sampeyan Dalem (raja-raja Jawa zaman Mataram: Yogyakarta dan Sura¬karta), Cokorde (bangsawan Bali), Kangjeng (kaki kakanda), atau Diajeng (kaki adinda). Kawula mencium kaki sebagai lambang penghormatan. Di sisi lain, kaki juga lambang kekuasaan, misalnya di Jawa Barat ditemukan sejumlah prasasti yang oleh para ahli disebut Prasasti Sang Hyang Tapak dari masa Raja Pur¬nawarman (Tarumanegara). Di prasasti, terdapat telapak kaki sang raja atau kaki gajah tunggangan raja. Prasasti-prasasti tersebut menyatakan bahwa kaki adalah simbol penguasaan atas suatu daerah atau simbol kebesaran sang raja.
12Jika tidak, maka orang tersebut dianggap tidak tahu etika pergaulan, bahkan yang lebih menyakitkan adalah orang tersebut disamakan dengan orang Cina. Kebiasaan orang Cina yang menegur orang lain dengan tidak menyebut nama lawan bicara memang tidak disukai orang Banyumas. Penyebutan nama se¬seorang dalam bertegur sapa merupakan wujud rasa hormat terhadap orang lain. Penyebutan nama juga merupakan perwujudan asas keegaliteran orang Banyu¬mas.
13Prinsip hormat terhadap orang yang lebih tua menjadi penting karena mereka itu ibarat keramat hidup sehingga pendapat-pendapatnya, nasihat, perin-tah, teguran, dll., wajib diperhatikan oleh pihak yang lebih muda. Oleh karena itu, Sudjiman dan ayahnya (Pangeran Aria Gandasubrata, bupati Banyumas 1913- 1933) selalu duduk di lantai, laku dodok, duduk bersila, menyembah, berjongkok, dan sebagainya ketika berada di hadapan kakek dan ayah mereka, yakni Pangeran Aria Mertadiredja III (Bupati Banyumas, 1879-1913). Sudjiman, bupati Banyu¬mas tiga zaman, juga menuturkan bahwa kebiasaan-kebiasaan yang dilakukannya misalnya ia harus mengikuti kakeknya di kabupaten, tidur di lantai beralaskan ti¬kar, dan menonton pertunjukan wayang kulit di pringgitan. Pertunjukan tersebut diselenggarakan pada setiap wetonan kakeknya pada hari Senin Pahing (malam Selasa Pon) setiap 35 hari sekali.
14Penyusunan kamus dialek Banyumasan memang bukan perkara mudah karena harus membedakan kata-kata yang asli dari dialek Banyumasan dengan kata-kata serapan. Kata-kata serapan sering berubah ketika diucapkan oleh bibir wong Banyumas, misalnya cileuh dari bahasa Sunda menjadi ciloh, atau taksih menjadi tesi. Kadang tanpa dirasakan orang Banyumas sedang memakai kata-kata serapan Sunda dan Jawa baku dalam percakapan. Kata-kata asli dialek Banyuma¬san memang bisa tergeser oleh kata-kata serapan tadi. Pengumpulan kata-kata asli akan menyangkut setiap bibir wong Banyumas di pedesaan dan wilayah dialek Banyumasan yang cukup luas, yakni Jawa Tengah bagian barat selatan.
15Pertama pada pupuh V Mijil, bait 31-35 sebagai berikut: /31/ sigra wau si-nambut Sang Dewi/ jinunjung pinondhong/ kinuswa-kuswaneng sajroning langse/ tansah ingarasan kongah-kangih/ nyengkah jaja garut /32/ trustha sadaleming tyas Sang Dewi/ wau Sang Lir Sinom/ dhasar sampun mepeg birahine/ kakung baud¬nya dyah canggehing resmi/ yun-ayunan sami/ munggeng madyeng kasur /33/ Sang Dyah ingaras rinemih-remih/ tyasnya esmu kelon/ yata sampun campuh kang karesmen/ langkung kapranan ingkang karon sih/ nutug ing sakapti/ ing tyas estri jalu /34/ yata wus luwar ingkang don resmi/ sakaliyan miyos/ babu enya acaos pasucen/ toya sangku Sang Dyah araresik/ kaliyan Sang Pekik/ sampune tu¬turuh /35/ apinarak munggeng jinem wangi/ Sang Dyah anglelentroh/ esmu lesu wau sarirane/ wantun nembe kagenening kapti/ kakung wlas ningali/ Sang Retna pinangku// Kedua pada pupuh XVIII Gambuh, bait 5-7 sebagai berikut: /5/ ganunturan srenggara rum/ pinriyembadeng tilam rum/ Sang Retna acanggeh amiwal kapti/ Sang Kakung bauding lulut/ Sang Retna sampun kaleson /6/ wus lukar tepining pinjung/ Sang Dyah tan suwaleng kayun/ sigra wau rahaden neka¬ken kapti/ Sang Dyah pinarjayeng lulut/ wus campuh madyeng paturon /7/ sigra rahaden tumurun/ pinondhong Sang Murtiningrum/ prapteng jawi kalih sampun asesuci/ riwusnya sesuci wau/ angsul minggah paturon//
16Kocapa Raden Banyak Catra kang wis lawas brangta wis ora kuwawa nahan hardaning galih. Datan saranta enggal munggah ing girikumala korining gedong kencana jenebol wani. Sajroning kedaton gya den obrak-abrik tanpa taha¬taha nutug ing sakarsa-karsa. Dasar baud ulah kridaning asmara katemu wanodiya kang lagi nedeng birahine. Dene Sang Retna nanggapi hardaning kakung, tinut ing sakarsa-karsane. Sagending diladeni nganti apongah-pangih. Sawise rok bandawala pati slirane Sang Retna kraos amarlupa
17Jenis sejarah ini memang ditopang oleh bahan-bahan yang didapat dari se-jarah sastra Banyumas, baik yang berbentuk tembang maupun gancaran. Selain itu, tradisi lisan yang juga hidup dengan subur di daerah Banyumas bisa meleng-kapi sejarah Banyumas, khususnya karakter dan perilaku wong Banyumas di masa lalu, masa kini, dan masa datang.
18Wirakencana dilegitimasikan oleh teks Babad Pasir sebagai muslim yang taat sehingga ia berhak dimakamkan satu liang kubur dengan Pangeran Makdum Wali, seorang wali dari Demak yang makamnya di Astana Pasir.
0 komentar: On banyumasan : sejarah dan karakter masyarakat
Posting Komentar