Cara Membuat Skala Likert

Jumat, 29 April 2011
Skala Likert dikembangkan oleh Rensis Likert (1932). Dikenal juga dengan nama skala sikap. Skala Likert merupakan skala yang paling banyak dipakai dalam inventori kepribadian karena bentuknya yang simpel dan mudah dalam penggunaannya serta tidak sulit dalam melakukan skoring.Namun demikian, diperlukan kaidah-kaidah tersendiri dalam membuat item pada skala likert. Dibawah ini beberapa tips untuk membuat skala likert.
1. Buat item dengan singkat, padat, dan simpel. Tidak lebih dari 20 kata dalam sebuah pernyataan.
2. Hindari terjadinya makna ganda.
3. Satu pernyataan hanya terdiri dari satu ide tunggal.
4. Hindari pernyataan yang tidak mungkin dipilih oleh seorangpun atau sebaliknya.
5. Hindari terjadinya double negative dalam satu pernyataan.
6. Hindari penggunaan kata yang tidak dipahami oleh responden yang dituju.

Read the story >

Penelitian Noneksperimental Non eksperimental

Kamis, 28 April 2011
Penelitian Observasional Bersifat Deskriptif Eksploratif Nonhipotesis Adalah : rancangan penelitian deskriptif bertujuan untuk menerangkan atau menggambarkan masalah penelitian yg terjadi berdasarkan karakteristik tempat, waktu, umur, jenis kelamin, sosial, ekonomi, pekerjaan, status perkawinan, cara hidup (pola hidup) dll
,,
3. Populasi penelitian Sekelompok subyek atau data dengan karakteristik tertentu 
a. Populasi target ( target population ) ditentukan oleh karakteristik tertentu dan demografis
b. Populasi terjangkau (accessible population, source population ) bagian populasi target yg dibatasi oleh tempat dan waktu

POPULASI
•Setiap subyek yg memenuhi kriteria yg telah ditetapkan •Pembagian Populasi Menurut Sastroasmoro & Ismail (1995) –Populasi target populasi yg memenuhi sampling kriteria dan menjadi sasaran akhir peneliti –Populasi terjangkau populasi yg memenuhi kriteria dalam penelitian dan biasanya dapat dijangkau oleh peneliti dari kelompoknya 
Kriteria Populasi
peneliti harus fokus pd kriteria yg telah ditetapkan •Dasar pertimbangan penentuan kriteria: –Biaya
–Praktik
–Kemampuan untuk berpartisipasi
–Pertimbangan desain penelitian

4.Sampel dan cara pemilihan sampel
Bagian populasi yg diteliti
Cara pemilihan sampel :
a. Probability sampling
b. Non Probability sampling

Langkah pembuatan skala likert
•Peneliti mengumpulkan item-item yg cukup banyak, relevan dg masalah
penelitian dan terdiri dari item yg cukup
jelas disukai (positif) dan tidak disukai
(negatif)
•Kemudian dicoba kepada sekelompok responden •Responden diminta untuk mengecek tiap item, apakah menyenangi (+) atau tidak menyukai (-)
•Jawaban yg menyenangi diberikan skor tertinggi untuk item positif dan kebalikan
bila tidak menyenangi diberikan skor
tertinggi untuk item negatif.
•Respon dianalisis skor tertinggi dan skor terendah dalam skala tota


Read the story >

KARAKTER ORANG BANYUMAS

Rabu, 27 April 2011
karakter umum masyarakat Banyumas tampak pada perilaku sehari-hari dalam berinteraksi sosial, karakter-karakter tokoh-tokoh lokal (baik legendaris maupun historis), tabu, dan pepatah-pepatah. Karakter-karakter tokoh, misalnya Kamandaka dalam teks Babad Pasir telah dipublikasikan (Priyadi, 2002b), sedangkan

tokoh lain sedang dipersiapkan publikasinya. Dengan demikian, hasil penelitian ini telah dibagi menjadi beberapa publikasi yang disesuaikan dengan misi suatu penerbitan jurnal. Sementara itu, penelitian yang merambah karakter yang bersifat khusus pada masyarakat berdasarkan wilayah geografisnya belum ditempuh secara mendalam pada penelitian ini.
Selanjutnya, tulisan ini memfokuskan pada karakter umum masyarakat Banyumas yang meliputi (1) mencari kejayaan dan keemasan, (2) suka memberontak, (3) sering konflik, (4) suka bekerja keras. Di samping itu, orang Banyumas memiliki karakteristik sebagai (a) masyarakat egaliter, (b) orang-orang bebas, (c) orang-orang vulgar, dan (d) budaya afirmatif dan budaya kritis.

baca pembahasannya disini
Read the story >

SKALA LIKERT

Selasa, 26 April 2011
Ketika kita belajar tentang skala likert, kita mengenal penskalaan respon misalnya Sangat Setuju – Setuju – Netral – Tidak Setuju – Sangat Tidak Setuju. Penskalaan ini apabila dikaitkan dengan jenis data yang dihasilkan adalah data Ordinal.Sekedar mengingatkan bahwa jenis data ada empat NOIR (Nominal, Ordinal, Interval, Rasio) keempat jenis data ini memiliki ciri sebagai berikut:

Nominal : Bersifat mengklasifikasikan saja, tanpa ada jenjang diantara klasifikasi. Angka hanya bermakna sebagai variasi jenis tanpa bermakna tingkatan. Missal: laki-laki – perempuan, 1 untuk kode laki-laki dan 2 untuk kode perempuan, angka 1 dan 2 bukan merupakan tingkatan, yang artinya 2 bukan berarti lebih tinggi daripada 1. Data jenis ini belum bisa dilakukan operasi matematis.

Ordinal : Bersifat mengklasifikasikan, dan klasifikasi tersebut sudah merupakan tingkatan. Sehingga dengan data ordinal ini angka sudah menunjukkan mana yg lebih besar dan mana yang lebih kecil. Tetapi masing-masing klasifikasi yang berupa tingkatan tersebut tidak memiliki jarak yang sama. Missal : juara dalam perlombaan balap sepeda. Ada juara 1 juara 2 dan juara 3. Angka 1, 2, 3 tersebut sudah memiliki makna tingkatan, bahwa juara 1 lebih cepat daripada juara 2 dan juara 3. Juara 2 lebih cepat daripada juara 3. Juara 1 waktu tempuahnya 5 menit, Juara 2 waktu tempuhnya 7 menit dan juara 3 waktu tempuhnya 12 menit. Yang dimaksud tidak memiliki jarak yang sama adalah antara juara 1 dan 2 selisih waktunya 2 menit, antara juara 2 dan juara 3 selisih waktunya 5 menit. Dengan demikian kita masih belum bisa menggunakan operasi matematis, karena angka 1, 2 dan 3 itu hanya berupa ranking saja.

Interval : bersifat mengklasifikasikan, dan klasifikasi tersebut sudah merupakan tingkatan yang masing-masing tingkatan memiliki jarak yang sama. Misal: nomor sepatu. Sepatu dengan nomor 39, 40, 41, 42. Angka nomor sepatu tersebut sudah bermakna tingkatan bahwa nomor 42 lebih tinggi daripada nomor 41 dan seterusnya. Pada data interval masing-masing tingkatan tersebut memiliki jarak yang sama. Sepatu nomor 39 memiliki panjang 30cm, nomor 40 memiliki panjang 31cm, nomor 41 memiliki panjang 32cm, nomor 42 memiliki panjang 33cm. dengan contoh tersebut berarti setiap tingkatan memiliki interval 1cm, interval inilah yang dimaksud dengan jarak yang sama di masing-masing tingkatan. Dengan adanya interval yang kita ketahui tersebut, kita bisa memaknai bahwa nomor sepatu 42 adalah nomor 39 ditambah 3cm, tapi kita belum bisa memaknai bahwa nomor 42 adalah nomor 39 dikali 3. Dengan demikian kita bisa menyimpulkan bahwa data interval sudah bisa dikenai operasi matematis penjumlahan dan pengurangan, namun belum bisa dikenai operasi matematis perkalian dan pembagian. Hal ini karena data interval tidak memiliki angka nol mutlak.

Rasio : ini adalah data dengan tingkatan yang tertinggi karena telah memiliki angka nol mutlak. Missal ukuran panjang atau tinggi, dan ukuran berat. Berat 0 kg berarti memang tidak ada massa yang ditimbang. Berat 3 kg lebih besar daripada berat 2 kg, berat 2 kg lebih besar daripada berat 1 kg. Sehingga berdasarkan contoh tersebut kita bisa memaknai bahwa 3 kg adalah 2kg + 1kg atau 3kg adalah 3x1kg. Dengan demikian data rasio sudah bisa dikenai semua operasi matematis: +, -, x, dan :

Kembali ke persoalan skala likert, mengapa data likert termasuk data ordinal? Sebenarnya alasannya gampang. Sangat setuju pasti lebih tinggi daripada yang setuju. Yang setuju pasti lebih tinggi daripada yang netral, yang netral pasti lebih tinggi daripada yang tidak setuju, sedangkan yang tidak setuju pasti lebih tinggi daripada yang sangat tidak setuju. Namun jarak antara sangat setuju ke setuju dan dari setuju ke netral dan seterusnya tentunya tidak sama, oleh karena itu data yang dihasilkan oleh skala likert adalah data ordinal. Sedangkan cara scoring bahwa Sangat setuju 5, setuju 4, netral 3, tidak setuju 2 dan sangat tidak setuju 1 hanya merupakan kode saja untuk mengetahui mana yang lebih tinggi dan mana yang lebih rendah. 

Dari cara scoring tersebut kita tidak bisa memaknai bahwa sangat setuju adalah netral ditambah setuju. Tapi permasalahannya sesuai dengan ciri-ciri dari data ordinal, bahwa data ordinal belum bisa dikenai operasi matematis, mengapa pada saat scoring dari skala likert kita menjumlahkan skor di tiap-tiap item padahal jelas-jelas skala data ordinal tidak bisa dijumlahkan? Lalu ketika kita melakukan seleksi item kita mengkorelasikan skor item dengan skor total dengan korelasi product moment Pearson? Padahal sebagaimana kita ketahui rumus korelasi Pearson ada unsur penjumlahan, perkalian, dan pembagian?


Silahkan anda renungkan ???? kalau sudah mendapat pencerahan silahkan berbagi….
http://consultanthr.com/tips-membuat-skala-likert/
Graha Mustika Ratu Lt. Mezzanine
Gatot Subroto Kav. 74-75 Jakarta Selatan
Tel. 021-3295 9205, 021-8370 8885
Fax. 021-8370 8885
email:info@consultanthr.com
Ask me if you need more information
Read the story >

PENGUMPULAN DATA DALAM PENELITIAN KUALITATIF: WAWANCARA

Senin, 25 April 2011
Abstrak
Ada beberapa metode pengumpulan data dalam penelitian kualitatif, yang paling sering digunakan adalah wawancara. Artikel ini menggambarkan wawancara sebagai metode pengumpulan data termasuk jenis wawancara, jenis pertanyaan, lama waktu wawancara, dan prosedur melakukan wawancara. Tujuan penulisan artikel ini adalah memperkenalkan metode wawancara kepada pembaca agar dapat menentukan metode wawancara sesuai dengan tujuan penelitian dan melakukannya dengan benar.
Kata kunci:, partisipan, penelitian kualitatif, pertanyaan, wawancara Abstract

There are several data collecting methods in the qualitative research, most common used namely interview. This article describes interview as a collecting data method including the various form of interviewing, the type of questions, interviewing duration, and a series of steps in interviewing procedures. The aim of this article is introduce interview methods to the readers in order to obtain method appropriately to the aim of the research and conducting this method correctly.
Keywords: interview, participant, qualitative research, question

by: Imami Nur Rachmawati
PENDAHULUAN
Wawancara merupakan bentuk pengumpulan data yang paling sering digunakan dalam penelitian kualitatif. Perawat seringkali menganggap wawancara itu mudah karena dalam kesehariannya, perawat sering bercakap-cakap dengan kliennya untuk mendapatkan informasi penting. Kenyataannya tak semudah itu. Banyak peneliti mengalami kesulitan mewawancarai orang, karena orang cenderung menjawab dengan singkat. Apalagi budaya pada masyarakat Indonesia yang cenderung tidak terbiasa mengungkapkan perasaan mereka.

Wawancara pada penelitian kualitatif memiliki sedikit perbedaan dibandingkan dengan wawancara lainnya seperti wawancara pada penerimaan pegawai baru, penerimaan mahasiswa baru, atau bahkan pada penelitian kuantitatif. Wawancara pada penelitian kualitatif merupakan pembicaraan yang mempunyai tujuan dan didahului beberapa pertanyaan informal. Wawancara penelitian lebih dari sekedar percakapan dan berkisar dari informal ke formal. Walaupun semua percakapan mempunyai aturan peralihan tertentu atau kendali oleh satu atau partisipan lainnya, aturan pada wawancara penelitian lebih ketat. Tidak seperti pada percakapan biasa, wawancara penelitian ditujukan untuk mendapatkan informasi dari satu sisi saja, oleh karena itu hubungan asimetris harus tampak. Peneliti cenderung mengarahkan wawancara pada penemuan perasaan, persepsi, dan pemikiran partisipan.
Uraian berikut ini akan menggambarkan jenis wawancara, jenis pertanyaan, lama waktu wawancara, dan prosedur melakukan wawancara pada penelitian kualitatif. Penjelasan tentang pengumpulan data merupakan hal yang penting karena akan menuntun pembaca memahami proses penelitian secara tepat.
JENIS WAWANCARA
Peneliti harus memutuskan besarnya struktur dalam wawancara. Struktur wawancara dapat berada pada rentang tidak berstruktur sampai berstruktur. Penelitian kualitatif umumnya menggunakan wawancara tidak berstruktur atau semi berstruktur (Holloway & Wheeler, 1996).
Wawancara tidak berstruktur, tidak berstandard, informal, atau berfokus dimulai dari pertanyaan umum dalam area yang luas pada penelitian. 
Wawancara ini biasanya diikuti oleh suatu kata kunci, agenda atau daftar topik yang akan dicakup dalam wawancara. Namun tidak ada pertanyaan yang ditetapkan sebelumnya kecuali dalam wawancara yang awal sekali. Misalnya untuk pertanyaan “Ceritakan tentang pangalaman nyeri anda”, maka dapat menggunakan kata kunci: perasaan, pergi ke dokter, profesi kesehatan lainnya, menggunakan pengobatan komplementer, dukungan social, dukungan praktik, klinik nyeri,puncak nyeri.
Jenis wawancara ini bersifat fleksibel dan memungkinkan peneliti mengikuti minat dan pemikiran partisipan. Pewawancara dengan bebas menanyakan berbagai pertanyaan kepada partisipan dalam urutan manapun bergantung pada jawaban. Hal ini dapat ditindaklanjuti, tetapi peneliti juga mempunyai agenda sendiri yaitu tujuan penelitian yang dimiliki dalam pikirannya dan isyu tertentu yang akan digali. Namun pengarahan dan pengendalian wawancara oleh peneliti sifatnya minimal. Umumnya, ada perbedaan hasil wawancara pada tiap partisipan, tetapi dari yang awal biasanya dapat dilihat pola tertentu. Partisipan bebas menjawab, baik isi maupun panjang pendeknya paparan, sehingga dapat diperoleh informasi yang sangat dalam dan rinci.
Wawancara jenis ini terutama cocok bila peneliti mewawancarai partispan lebih dari satu kali. Wawancara ini menghasilkan data yang paling kaya, tetapi juga memiliki dross rate paling tinggi, terutama apabila pewawancaranya tidak berpengalaman. Dross rate adalah jumlah materi atau informasi yang tidak berguna dalam penelitian.
Wawancara Semi Berstruktur. Wawancara ini dimulai dari isyu yang dicakup dalam pedoman wawancara. Pedoman wawancara bukanlah jadwal seperti dalam penelitian kuantitatif. Sekuensi pertanyaan tidaklah sama pada tiap partisipan bergantung pada proses wawancara dan jawaban tiap individu. Namun pedoman wawancara menjamin bahwa peneliti mengumpulkan jenis data yang sama dari para partisipan. Peneliti dapat menghemat waktu melalui cara ini. Dross rate lebih rendah daripada wawancara tidak berstruktur. Peneliti dapat mengembangkan pertanyaan dan memutuskan sendiri mana isyu yang dimunculkan. Contoh pertanyaan dalam pedoman wawancara: Ceritakan bagaimana nyeri anda pertama kali mulai, apakah anda pergi dan mengatakannya ke dokter pada awal-awal?, Apa yang dokter bilang? Apa yang terjadi setelah itu?

Pedoman wawancara dapat agak panjang dan rinci walaupun hal itu tidak perlu diikuti secara ketat. Pedoman wawancara berfokus pada subyek area tertentu yang diteliti, tetapi dapat direvisi setelah wawancara karena ide yang baru muncul belakangan. Walaupun pewawancara bertujuan mendapatkan perspektif partisipan, mereka harus ingat bahwa mereka perlu mengendalikan diri sehingga tujuan penelitian dapat dicapai dan topik penelitian tergali.

Wawancara berstruktur atau berstandard. Peneliti kualitatif jarang sekali menggunakan jenis wawancara ini. Beberapa keterbatasan pada wawancara jenis ini membuat data yang diperoleh tidak kaya. Jadwal wawancara berisi sejumlah pertanyaan yang telah direncanakan sebelumnya. Tiap partisipan ditanyakan pertanyaan yang sama dengan urutan yang sama pula. Jenis wawancara ini menyerupai kuesioner survei yang tertulis. Wawancara ini menghemat waktu dan membatasi efek pewawancara bila sejumlah pewawancara yang berbeda terlibat dalam penelitian. Analisis data tampak lebih mudah sebagaimana jawaban yang dapat ditemukan dengan cepat. Umumnya, pengetahuan statistik penting dan berguna untuk menganalisis jenis wawancara ini. Namun jenis wawancara ini mengarahkan respon partisipan dan oleh karena itu tidak tepat digunakan

pada pendekatan kualitatif. Wawancara berstruktur bisa berisi pertanyaan terbuka, namun peneliti harus diingatkan terhadap hal ini sebagai isyu metodologis yang akan mengacaukan dan akan jadi menyulitkan analisisnya.
Peneliti kualitatif menggunakan pertanyaan yang berstruktur ini hanya untuk mendapatkan data sosio-demografik, seperti usia, lamanya kondisi yang dialami, lamanya pengalaman, pekerjaan, kualifikasi, dsb. Kadang komite etik menanyakan jadwal wawancara yang ditentukan sebelumya sehingga mereka dapat menemukan alur penelitian yang sebenarnya. Pada kasus ini, pedoman wawancara semi berstruktur lebih dianjurkan.
Robinson (2000) mengatakan bahwa wawancara mendalam, formal terbuka merupakan aliran utama penelitian kualitatif keperawatan. Wawancara kualitatif formal adalah percakapan yang tidak berstruktur dengan suatu tujuan yang biasanya mengutamakan perekaman dan transkrip data verbatim (kata per kata), dan penggunaan suatu pedoman wawancara daripada susunan pertanyaan yang kaku. Pedoman wawancara terdiri atas satu set pertanyaan umum atau bagan topik, dan digunakan pada awal pertemuan untuk memberikan struktur, terutama bagi para peneliti pemula. Aturan umum dalam wawancara kualitatif adalah jangan memaksakan agenda atau kerangka kerja pada partisipan, justeru tujuan wawancara ini untuk mengikuti kemauan partisipan. Penggunaan format ini adalah untuk menangkap perspektif partisipan sesuai dengan tujuan penelitian.
Selain jenis wawancara di atas, May (1993) menambahkan jenis lain, yaitu:
Wawancara kelompok. Wawancara kelompok merupakan instrumen yang berharga untuk peneliti yang berfokus pada normalitas kelompok atau dinamika seputar isyu yang ingin diteliti.

Wilson (1996) membandingkan metode bertanya dengan menggunakan tiga dimensi, yaitu: dimensi prosedural, struktural dan konstekstual.
Faktor prosedural/structural. Dimensi prosedural bersandar pada wawancara yang bersifat natural antara peneliti dan partisipan atau disebut juga wawancara tidak berstruktur. Tempat wawancara adalah tempat keseharian partisipan seperti rumah atau tempat bekerja, bukan di laboratorium. Jadi yang dipertimbangkan dalam hal ini adalah prosedurnya, apakah kaku seperti di laboratorium atau natural. Hal lain yang dibandingkan adalah strukturnya seperti metode yang sangat berstruktur (highly structured) dan kurang berstruktur (less structured).
Faktor konstekstual. Dimensi konstekstual mencakupi jumlah isyu. Pertama, terminologi yang di dalam wawancara dianggap penting. Kedua, konteks wawancara yang berdampak pada penilaian respon (response rate). Aspek kontekstual yang penting lainnya adalah persepsi partisipan terhadap karakteristik pewawancara. Hal yang menjadi dasar partisipan mengungkapkan pendapatnya atau pengalamannya adalah berdasarkan karakteristik pewawancara yang terlihat, misalnya aksen, pakaian, suku atau jender. Ini yang dikenal sebagai variabilitas pewawancara. Untuk meminimalkan dampak ini usahakan pewawancara cocok dengan responden, misalnya perempuan – perempuan.
Perlu diingatkan, peneliti sendiri harus memutuskan tekhnik wawancara apa yang terbaik untuk dirinya dan partisipan.

LAMA DAN PEMILIHAN WAKTU WAWANCARA
Field & Morse (1985 dalam Holloway & Wheeler, 1996) menyarankan bahwa wawancara harus selesai dalam satu jam. Sebenarnya waktu wawancara bergantung pada partisipan. Peneliti harus melakukan kontrak waktu dengan partisipan, sehingga mereka dapat merencanakan kegiatannya pada hari itu tanpa terganggu oleh wawancara, umumnya partisipan memang menginginkan waktunya cukup satu jam. Pada pastisipan lanjut usia, menderita kelemahan fisik, atau sakit mungkin perlu istirahat setelah 20 atau 30 menit. Partisipan anak-anak juga tidak bisa konsentrasi dalam waktu yang lama. Peneliti harus menggunakan penilaian mereka sendiri, mengikuti keinginan partisipan, dan menggunakan waktu sesuai dengan kebutuhan topik penelitiannya. Umumnya lamanya wawancara tidak lebih dari tiga jam. Jika lebih dari tiga jam, konsentrasi tidak akan diperoleh bahkan bila wawancara tersebut dilakukan oleh peneliti berpengalaman sekalipun. Jika dalam waktu yang maksimal tersebut data belum semua diperoleh, wawancara dapat dilakukan sekali lagi atau lebih. Beberapa kali wawancara singkat akan lebih efektif dibanding hanya satu kali dengan waktu yang panjang.

JENIS PERTANYAAN DAN HAL YANG TERKAIT
Ketika menanyakan suatu pertanyaan, pewawancara menggunakan berbagai tehnik komunikasi dan cara bertanya. Patton (1990 dalam Holloway & Wheeler, 1996) membuat daftar jenis pertanyaan, seperti pertanyaan pengalaman (“Dapatkah anda ceritakan tentang pengalaman anda merawat pasien diabetes?”), perasaan (“Bagaimana perasaan anda saat pasien yang pertama anda rawat meninggal?”), dan pengetahuan (“Apa pelayanan yang tersedia untuk kelompok pasien ini?”).

Spradley (1979 dalam Holloway & Wheeler, 1996) membedakan pertanyaan grand-tour dan mini-tour. Pertanyaan grand-tour lebih luas sedangkan mini-tour lebih spesifik. Contoh pertanyaan grand-tour: Dapatkah anda jabarkan kekhususan hari di bangsal? Apa yang anda lakukan jika pasien bertanya tentang kondisinya? Sedangkan contoh pertanyaan mini-tour: Dapatkah anda jabarkan apa yang terjadi jika seorang kolega mempertanyakan keputusan anda?
Pertanyaan dalam penelitian kualitatif sedapat mungkin tidak bersifat mengarahkan tetapi masih berpedoman pada area yang diteliti. Peneliti mengutarakan pertanyaan sejelasnya dan menyesuaikan pada tingkat pemahaman partisipan. Pertanyaan yang ambigu menghasilkan jawaban yang juga ambigu. Pertanyaan dobel lebih baik dihindari; seperti pertanyaan yang tidak tepat, seperti: berapa banyak kolega yang anda miliki, dan apa ide mereka tentang hal ini?
Menurut Devers & Frankel (2000) beberapa faktor mempengaruhi derajat struktur atau jenis instrumentasi yang digunakan dalam penelitian kualitatif. Faktor pertama adalah tujuan penelitin. Bila penelitian lebih bersifat eksplorasi atau pengujian untuk menemukan dan atau menghaluskan teori dan konsep, yang tepat untuk dipertimbangkan adalah protokol yang sangat berakhiran terbuka (open-ended). Faktor kedua adalah luasnya pengetahuan sebelumnya yang sudah ada tentang suatu subyek, misalnya suatu konsep yang telah ada dan digunakan secara luas di dunia, sejauhmana penerapannya di Indonesia. Ketiga, sumber yang tersedia, terutama waktu subyek dan jumlah serta kompleksitas kasus. Terakhir, persetujuan dengan yang berwenang dan penyandang dana. Instrumen yang membutuhkan waktu lama untuk menganalisisnya tentu perlu dipertimbangkan oleh penyandang dana.

Penyelidikan dan Penetapan

Selama wawancara peneliti dapat menggunakan pertanyaan prompts atau probing. Ini membantu mengurangi kecemasan baik pada peneliti maupun partisipan. Tujuan probes adalah penyelusuran untuk menguraikan arti atau alasan. Seidman (1991 dalam Holloway & Wheeler, 1996) lebih memilih istilah menjelajahi dan tidak menyukai istilah menyelidiki (probe) karena menekankan posisi kekuatan pewawancara dan merupakan nama untuk instrumen yang digunakan dalam investigasi medis. Pertanyaan eksplorasi mungkin dapat digunakan, seperti apa pengalaman yang menyenangkan anda? Bagaimana perasaan anda tentang hal itu? Dapatkah anda ceritakan lebih banyak lagi tentang itu? Menarik sekali, mengapa anda lakukan itu?

Pewawancara dapat menindaklanjuti poin tertentu atau kata-kata tertentu yang diungkankan partisipan. Partisipan jadi lancar bila diminta menceritakan tentang suatu kisah, merekonstruksi pengalaman mereka, seperti hari, insiden, atau perasaan mereka tentang suatu penyakit.
Prompt non-verbal mungkin lebih bermanfaat. Cara berdiri peneliti, kontak mata dan condong ke depan akan mendorong refleksi. Sebenarnya keterampilan yang diadopsi dalam konseling yang telah dimiliki perawat akan mempermudah melakukan hal ini.
Tujuan penggunaan prompt atau probe ini adalah agar wawancara berjalan lancar dan memberikan rasa nyaman baik pada peneliti maupun partisipan tanpa keluar dari tujuan penelitian. Ini tidak lepas dari kemampuan pewawancara itu sendiri.
Seorang pewawancara yang baik harus mempunyai ketetrampilan komunikasi yang mumpuni. Ketetrampilan ini meliputi ketrampilan mendengarkan, menyusun kata (paraphrasing), probing, dan meringkas (Byrne, 2001).

Mewawancarai kolega
Banyak tenaga profesional kesehatan berminat terhadap pandangan atau pemikiran kolega mereka. Ada keuntungan dan kerugian dalam mewawancarai teman. Bahasa dan norma yang sama dapat menjadi keuntungan atau masalah. Menjadi keuntungan karena konsep lebih mudah dipahami oleh peneliti yang termasuk dalam kultur partisipan itu. Walaupun peluang misinterpretasi dapat berkurang, salahpaham dapat saja menimbulkan asumsi yang diperoleh dari nilai dan kepercayaan yang bersifat umum. Menjadi masalah karena kadangkala pewawancara dari sesama kolega cenderung tidak menanyakan pemikiran yang dianggap umum atau tidak perlu ditanyakan lagi, walaupun sebenarnya data ini menjadi sasaran wawancara. Untuk menghilangkan hal demikian, peneliti perlu menanggulanginya dengan berperilaku atau menempatkan diri seolah orang yang berkultur asing atau pengamat yang naif dan bukan berasal dari latarbelakang yang sama dengan partisipan. Dengan demikian pemikiran yang belum tercakup atau gagasan yang mungkin tidak ditanya dapat diperoleh dengan bertanya pada partisipan tentang arti mereka dan untuk mengklarifikasi pemikiran mereka.
Pada banyak situasi wawancara dengan teman, peneliti dan partisipan berada pada posisi yang sejajar dan peneliti tidak asing dan bukan anonim. Ini merupakan keuntungan bagi partisipan.

PROSEDUR WAWANCARA
Creswell (1998) menjelaskan bahwa prosedur wawancara seperti tahapan berikut ini:
ƒ Identifikasi para partisipan berdasarkan prosedur sampling yang dipilih sebelumnya

• Tentukan jenis wawancara yang akan dilakukan dan informasi bermanfaat apa yang relevan dalam menjawab pertanyaan penelitian.
• Apakah wawancara individual atau kelompok terfokus, perlu dipersiapkan alat perekam yang sesuai, misalnya mike untuk kedua belah pihak baik pewawancara maupun partisipan. Mike harus cukup sensitif merekam pembicaraan terutama bila ruangan tidak memiliki struktur akustik yang baik dan ada banyak pihak yang harus direkam.
• Alat perekam perlu dicek kondisinya, misalnya batereinya. Kaset perekam harus benar-benar kosong dan tepat pada pita hitam bila mulai merekam. Jika perekaman sudah dimulai, yakinkan tombol perekam sudah ditekan dengan benar.
• Susun protokol wawancara, panjangnya kurang lebih empat sampai lima halaman dengan kira-kira lima pertanyaan terbuka dan sediakan ruang yang cukup di antara pertanyaan untuk mencatat respon terhadap komentar partisipan.
• Tentukan tempat untuk melakukan wawancara. Jika mungkin ruangan cukup tenang, tidak ada distraksi dan nyaman bagi partisipan. Idealnya peneliti dan partisipan duduk berhadapan dengan perekam berada di antaranya, sehingga suara suara keduanya dapat terekam baik. Posisi ini juga membuat peneliti mudah mencatat ungkapan non verbal partisipan, seperti tertawa, menepuk kening, dsb.
• Ketika tiba di tempat wawancara, tetapkan inform consent pada calon partisipan.
• Selama wawancara, cocokkan dengan pertanyaan, lengkapi pada waktu tersebut (jika memungkinkan), hargai partisipan dan selalu bersikap sopan santun. Pewawancara yang baik adalah yang lebih banyak mendengarkan daripada berbicara ketika wawancara sedang berlangsung.

Byrne (2001) menyarankan agar sebelum memilih wawancara sebagai metoda pengumpulan data, peneliti harus menentukan apakah pertanyaan penelitian dapat dijawab dengan tepat oleh orang yang dipilih sebagai partisipan. Studi hipotesis perlu digunakan untuk menggambarkan satu proses yang digunakan peneliti untuk memfasilitasi wawancara, misalnya mewawancarai pengalaman ayah selama prosedur seksio sesarea perlu dilakukan dalam 48 jam setelah persalinan dan kemudian antara satu hingga dua bulan berikutnya.
Wawancara perlu dilakukan lebih dari dua kali karena dua alasan utama. Pertama adalah pendekatan pengetahuan temporal. Istilah temporal maksudnya adalah istilah filosofis yang mendefinisikan bagaimana situasi dan pengetahuan orang saat itu dipengaruhi oleh pengalamannya dan bagaimana situasi saat itu akan menentukan masa depannya. Alasan kedua melakukan wawancara lebih dari satu kali adalah untuk memenuhi kriteria rigor (ketepatan/ketelitian). Selain itu juga memungkinkan peneliti mengkonfirmasi atau mengklarifikasi informasi yang ditemukan pada wawancara pertama. Melalui pertemuan ini hubungan saling percaya dengan partisipan semakin meningkat sehingga memungkinkan peneliti menyingkap pengalaman atau perasaan partisipan yang lebih pribadi.
Jadi, secara umum wawancara terdiri atas tiga tahap. Tahap pertama meliputi perkenalan, memberikan gambaran singkat proses wawancara dan membangun hubungan saling percaya. Tahap kedua merupakan tahap yang terpenting dengan diperolehnya data yang berguna. Tahap akhir adalah ikhtisar dari respon partisipan dan memungkinkan konfirmasi atau adanya informasi tambahan.

Penutup

Wawancara merupakan salah satu metode pengumpulan data dalam penelitian, terutama penelitian kualitatif. Ada beberapa jenis wawancara yang perlu dipahami, sebelum memutuskan akan menggunakan yang mana bergantung pada pertanyaan penelitian yang hendak dijawab. Jenis pertanyaan juga menggambarkan informasi yang akan diperoleh.
Meskipun wawancara dianggap hal yang biasa namun pada penelitian, kegiatan ini berbeda dengan percakapan sehari-hari. Jika penelitian mengharuskan kolega sebagai partisipan, proses wawancara tidaklah semulus yang dibayangkan. Beberapa kendala seperti kesalahpahaman juga dapat timbul. Untuk itu diperlukan teknik tersendiri untuk mengurangi kendala tersebut. Melakukan wawancara dengan mengikuti tahapan prosedur merupakan hal yang penting agar hasil wawancara tidak mengecewakan. Sebagai perawat, sesungguhnya sudah mempunyai bekal kemampuan konseling untuk lebih menguasai keterampilan melakukan wawancara dalam rangka memperoleh data seperti yang diharapkan.

Daftar Pustaka
Byrne, M. (2001). Interviewing as a data collection method. Association of Operating
Room Nurses. AORN Journal; 74, 2: 233-234.
Creswell, J.W. (1998). Qualitative inquiry and research design: Choosing among five
traditions. Thousand Oaks: Sage Publication.
Devers, K.J. & Frankel, R.M. (2000). Study design in qualitative research-2: Sampling and
data collection strategy. Education for Health; Jul 2000; 13, 2. [online database]
diperoleh tanggal 12/6/06 dari Proquest Nursing & Allied Health Source.

Holloway, I & Wheeler, S. (1996). Qualitative research for nurses. London: Blackwell Science.
May, T. (1993). Social research issues, methods and process. London: Open University Press Buckingham.
Robinson, J.P. (2000). Phases of the qualitative research interview with institutionalized elderly individuals. Journal of Gerontological Nursing; Nov 2000; 26, 11; ProQuest Medical Library. Pg 17.
Wilson, M. (1996). Asking questions. In Data collection and analysis. (Sapsford, R & Jupp, V (Eds)). London: Open University, Sage Publication.
.
Read the story >

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 26 TAHUN 2007 TENTANG PENATAAN RUANG

Jumat, 01 April 2011
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat,ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat
manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya.
2. Tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola
ruang.
3. Struktur ruang adalah susunan pusat-pusat
permukiman dan sistem jaringan prasarana dan
sarana yang berfungsi sebagai pendukung kegiatan
sosial ekonomi masyarakat yang secara hierarkis
memiliki hubungan fungsional.
4. Pola ruang adalah distribusi peruntukan ruang
dalam suatu wilayah yang meliputi peruntukan
ruang untuk fungsi lindung dan peruntukan ruang
untuk fungsi budi daya.
5. Penataan ruang adalah suatu sistem proses
perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan
pengendalian pemanfaatan ruang.
6. Penyelenggaraan penataan ruang adalah kegiatan
yang meliputi pengaturan, pembinaan, pelaksanaan,
dan pengawasan penataan ruang.
7. Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut Pemerintah,
adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang
kekuasaan pemerintahan negara Republik Indonesia
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
8. Pemerintah daerah adalah Gubernur, Bupati, atau
Walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur
penyelenggara pemerintahan daerah.
9. Pengaturan penataan ruang adalah upaya
pembentukan landasan hukum bagi Pemerintah,
pemerintah daerah, dan masyarakat dalam
penataan ruang.
10
Read the story >

Entri Populer

tempat iklan
Grab this Widget ~ Blogger Accessories
 
bottom